Dalam
agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan.
Pengertian Pawiwahan itu sendiri dari sudut pandang etimologi atau asal
katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti
pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian pawiwahan
secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan
pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:
menurut Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1
dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi: “Perkawinan ialah ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan
pengertian-pengertian diatas dapat saya simpulkan bahwa pawiwahan
adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan
wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum
Negara, Agama dan Adat.
Tujuan wiwaha
menurut Agama Hindu
Pada dasarnya manusia
selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka
harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan
telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita
yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi
kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri
untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai
tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan
merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah
bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
“Prnja
nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah.
Tasmat
sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”
“Untuk menjadi
Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan.
Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh
suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made
Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga”
disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal
yaitu:
- Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat dilaksanakan secara sempurna.
- Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
- Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi
sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan
dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang
bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab
suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung
sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava
Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:
“Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
Esa
dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”
“Hendaknya supaya
hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap
sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
“Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
Jatha
nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”
“Hendaknya laki-laki
dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak
jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua
sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya
perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan
terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan
tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra
III. 60 , sebagai berikut:
“Samtusto
bharyaya bharta bharta tathaiva ca,
Yasminnewa
kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”
“Pada keluarga dimana
suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap
suaminya, kebahagiaan pasti kekal” ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan
keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang
suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan
kebahagiaan kekal (moksa).
Menurut agama Hindu
dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai
berikut:
Sistem
Pawiwahan dalam Agama Hindu
- Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
- Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
- Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
- Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada mempelai laki-laki.
- Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
- Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
- Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
- Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
Syarat
Sah suatu Pawiwahan menurut Hindu.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra
maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi,
sebagai berikut:
- Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35 yang berbunyi:
“Adbhirewa
dwijagryanam kanyadanam wicisyate,
Itaresam
tu warnanam itaretarkamyaya”
“Pemberian anak perempuan di antara
golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan air suci sangatlah disetujui,
tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan pernyataan persetujuan
bersama” (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).
- Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur.
minimal tersebut
untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita,
sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu
memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam Manava
Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah
mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga
akhir hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang
baik atau orang tua harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang
layak untuk kawin, baru dapat dinikahkan dan orang tua harus memilihkan
calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka tersebut disimpulkan umur yang
layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat mengawinkan anaknya
setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).
- Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat, keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita yang tidak memiliki etika.
- Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.
Samskara
atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya suatu
perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra
II. 26 sebagai berikut:
“Waidikaih
karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,
Karyah
carira samskarah pawanah pretya ceha ca”
“Sesuai dengan
ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya dilaksanakan
pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara kemanusiaan
lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan
hidup ini maupun setelah meninggal dunia” (Pudja dan Sudharta, 2002:69).
Dalam pelaksanaan
upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak mengabaikan
adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain Veda
sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan
kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara.
Dengan melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan
mengikuti tata cara adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita
) dan Moksa. Hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai
berikut:
“Sruti
smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,
iha
kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham”
“Karena orang yang
mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan mengikuti adat
istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah
meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai)” ( Pudja dan
Sudharta, 2002: 63).
Dalam pelaksanaan
upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat maka harus
diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama
Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain
itu menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14
sebutkan syarat-syarat pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:
1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan)
simbolis penerimaan kedua mempelai itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam
berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya daerahnya, umpamanya
menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.
2)
Panigraha yaitu
upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di
depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya jawa
dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara
ujung kain masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi
mantra atau stotra.
3)
Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan
yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen
Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).
4)
Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya
dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab
suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya. Yajña
tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi oleh suatu
keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol dalam
sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan
maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya
sebagai pajangan biasa.
5) Lascarya artinya suatu yajña
yang dilakukan dengan penuh keiklasan.
6)
Sastra artinya suatu yajña harus
dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum yang berlaku dalam
pelaksanaan yajña disebut Yajña Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal
ada lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yajña.
7)
Daksina artinya adanya suatu
penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan
secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.
8) Mantra artinya dalam pelaksanaan
upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.
9)
Annasewa artinya dalam pelaksanaan
upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah
tamah.
10) Nasmita artinya
suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk
memamerkan kemewahan.
Demikianlah tinjauan
secara umum tentang pelaksanaan perkawinan atau pawiwahan yang ideal menurut
agama Hindu. Perkawinan yang sakral tidak boleh dilakukan secara sembarangan
dan oleh sebab itu sebelum melakukan perkawinan hendaknya dipikirkan dahulu
secara matang agar nantinya tidak menimbulkan permasalahan dalam rumah tangga
setelah menikah.
Upacara
Perkawinan Adat Bali
Dalam ajaran Hindu terdapat empat tahap
dalam mencapai tujuan hidup, adapun tujuan hidup tersebut dinamakan Catur
Purusa Artha terdiri dari Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Dalam
pelaksanaannya dilakukan secara bertahap.
Sementara dalam Perkawinan adalah
bentuk perujudan dari suatu usaha untuk mencapai tujuan hidup. Dalam lontar Agastya
Parwa disebutkan "Yatha sakti Kayika Dharma" ini bermakna
dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma
Upacara perkawinan pada hakekatnya
adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan kepada
masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah mengikatkan diri sebagai
suami-istri. Sedangkan pengertian perkawinaan sendiri adalah jalinan ikatan
secara lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk suatu keluarga yang bahagia dan abadi selamanya hingga akhir
usia.
Bila seseorang sudah berniat melakukan
perkawinan, diharapkan sudah mereka sudah siap lahir dan batin dalam menempuk
bahtera rumah tangga kelak.
Dalam perkawinan umat Hindu di
Bali, ada dua tujuan hidup yang harus dapat diselesaikan dengan tuntas yaitu
mewujudkan artha dan kama yang berdasarkan Dharma.
Sebelum seseorang memasuki jenjang
perkawinan dibutuhkan suatu bimbingan, nasehat dan wejangan agar dalam
pelaksaanaannya nanti tidak mengalami kendala, masalah yang mungkin akan timbul
dalam mengarui biduk bahtera rumah tangga, bimbingan ini diberikan dari orang
yang mengerti dan ahli dalam bidang agama Hindu, orang yang mengerti
agama ini akan menerangkan apa yang menjadi tugas dan kewajiban bagi
orang yang telah terikat dalam pernikahan sehinggabisa mandiri di dalam
mewujudkan tujuan hidup mendapatkan artha dan kama berdasarkan Dharma.
Lalu dilanjutkan dengan proses
penyucian diri yang bertujuan memberikan kesempatan kepada leluhur untuk
menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya (umat Hindu di Bali
percaya leluhur yang sudah meninggal dapat berenkarnasi dalam perujudan anak
cucu kembali) untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik,
itu adalah manfaat jadi manusia. Melahirkan anak lewat perkawinan mengasuh,
membimbing, memeliharanya dan mendidik dengan penuh kasih sayang sesungguhnya
suatu yadnya kepada leluhur. Terlebih lagi kalau anak tersebut dapat menjadi
manusia yang sempurna, akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya,
demikian disebutkan dalam Slokantara.
Perkawinan bagi umat Hindu merupakan
sesuatu yang suci dan sakral. Saat itu perkawinan layak atau tidak nya
ditentukan oleh seorang Resi, dimana sang Resi (Bramana Sista) ini mampu
melihat lewat mata batin cocok tidaknya dari pasanngan yang akan dinikahkan,
bila tidak cocok atau jodoh akan dibatalkan karena bisa berakibat buruk bagi
kehidupan rumah tangga mereka nanti. Namun seiring masa berganti dan
pertimbangan duniawi lebih mempengaruhi orang tua dalam memilih jodoh untuk
anak anak mereka dan bukan lagi nilai budi pekerti yang di junjung tinggi
Pernikahan adat Bali menggunakan sistem
patriarki yaitu semua tahapan dan proses pernikahan dilakukan di
rumah mempelai pria.
Menurut UU perkawinan no 1 thn 1974,
sah tidaknya suatu perkawinan adalah sesuai menurut hukum dan agama
masing masing.
Proses upacara adat pernikahan di Bali
disebut “ Mekala-kalaan (natab banten). Pelaksaan upacara ini
dipimpin oleh seorang pendeta yang diadakan di halaman rumah sebagai titik
sentral kekuatan Kala Bhucari yang dipercaya sebagai penguasa wilayah
madyaning mandala perumahan.
Makalan-kalaan sendiri berasal dari
kata Kala yang mengandung pengertian energi. Upacara mekala-kalaan ini
mempunyai maksud untuk menetralisir kekuatan kala/energi yang bersifat
buruk/negatif dan berubah menjadi positif/baik.
Adapun maksud dari upacara ini adalah
sebagai pengesahan perkawinan antara kedua mempelai dan sekaligus penyucian
benih yang terkandung di dalam diri kedua mempelai.
Peralatan Mekala-kalaan dan symbol
upacara adat perkawinan Bali
- Sanggah Surya/bambu melekungmerupakan niyasa (simbol) istana Sang Hyang Widhi Wasa, ini merupakan istananya Dewa Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih. Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya sebagai dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria dan di sebelah kiri sanggah digantungkan sebuah kulkul berisi beremsimbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih dewi kecantikan serta kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
- Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)simbol calon pengantin yang diletakkan sebagai alas upacara mekala-kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
- Tikeh Dadakan (tikar kecil)Tikar yang diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara (hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikar adalah sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
- Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai lambang kepurusan dari pengantin pria.
- Benang Putihdibuatkan sepanjang setengah meter, terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm. Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna dengan upacara penyucian tersebut. Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan, berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dariBrahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
- Tegen – tegenanMakna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung jawab sekala dan niskala. Adapun Perangkat tegen-tegenan ini :
- Batang tebu berarti hidup pengantin mengandung arti kehidup dijalani secara bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara manis.
- Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja, berkarma berdasarkan Dharma.
- Periuk simbol windhu.
- Buah kelapa simbol brahman (Sang Hyang Widhi).
- Seekor yuyu/kepiting simbol bahasa isyarat memohon keturunan dan kerahayuan.
- Suwun-suwunan(sarana jinjingan)Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita yang berisi talas, kunir, beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengembangkan benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
- Dagang-daganganmelambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah tangga dan siap menanggung segala resiko yang timbul akibat perkawinan tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
- Sapu lidi (3 lebih). Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna berdasarkan ucapan baik, prilaku yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga.
- Sambuk Kupakan (serabut kelapa). Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek, kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas). Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan kesucian.Telor bebek simbol manik. Kedua Mempelai saling tendang serabut kelapa (metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh pengantin wanita. Ini mengandung pengertian Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah, serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
- Tetimpugadalah bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.
(Sumber Asli)
Rangkaian tahapan upacara pernikahan adat Bali:
Upacara Ngekeb:
Acara ini bertujuan untuk mempersiapkan
calon pengantin wanita dari kehidupan remaja menjadi seorang istri dan ibu
rumah tangga dengan memohon doa restu kepada Tuhan Yang Maha Esa agar bersedia
menurunkan kebahagiaan kepada pasangan ini serta nantinya mereka diberikan
anugerah berupa keturunan yang baik.
Setelah itu pada sore harinya, seluruh
tubuh calon pengantin wanita diberi luluran yang terbuat dari daun merak,
kunyit, bunga kenanga, dan beras yang telah dihaluskan. Dipekarangan rumah juga
disediakan wadah berisi air bunga untuk keperluan mandi calon pengantin. Selain
itu air merang pun tersedia untuk keramas.
Sesudah acara mandi dan keramas
selesai, pernikahan adat bali akan dilanjutkan dengan upacara di dalam kamar
pengantin. Sebelumnya dalam kamar itu telah disediakan sesajen. Setelah masuk
dalam kamar biasanya calon pengantin wanita tidak diperbolehkan lagi keluar
dari kamar sampai calon suaminya datang menjemput. Pada saat acara penjemputan
dilakukan, pengantin wanita seluruh tubuhnya mulai dari ujung kaki sampai
kepalanya akan ditutupi dengan selembar kain kuning tipis. Hal ini sebagai
perlambang bahwa pengantin wanita telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai
remaja dan kini telah siap menjalani kehidupan baru bersama pasangan hidupnya.
Mungkah Lawang (Buka
Pintu):
Seorang utusan Mungkah Lawang
bertugas mengetuk pintu kamar tempat pengantin wanita berada sebanyak tiga kali
sambil diiringi olehseorang Malat yang menyanyikan tembang Bali. Isi
tembang tersebut adalah pesan yang mengatakan jika pengantin pria telah datang
menjemput pengantin wanita dan memohon agar segera dibukakan pintu.
Upacara Mesegehagung:
Sesampainya kedua pengantin di
pekarangan rumah pengantin pria, keduanya turun dari tandu untuk bersiap
melakukan upacara Mesegehagung yang tak lain bermakna sebagai ungkapan
selamat datang kepada pengantin wanita, kemudian keduanya ditandu lagi menuju
kamar pengantin. Ibu dari pengantin pria akan memasuki kamar tersebut dan
mengatakan kepada pengantin wanita bahwa kain kuning yang menutupi tubuhnya
akan segera dibuka untuk ditukarkan dengan uang kepeng satakan yang ditusuk
dengan tali benang Bali dan biasanya berjumlah dua ratus kepeng
Madengen–dengen:
Upacara ini bertujuan untuk
membersihkan diri atau mensucikan kedua pengantin dari energi negatif dalam
diri keduanya. Upacara dipimpin oleh seorang pemangku adat atau Balian
Mewidhi Widana:
Dengan memakai baju kebesaran
pengantin, mereka melaksanakan upacara Mewidhi Widana yang dipimpin oleh
seorang Sulingguh atau Ida Peranda. Acara ini merupakan
penyempurnaan pernikahan adat bali untuk meningkatkan pembersihan diri
pengantin yang telah dilakukan pada acara acara sebelumnya. Selanjutnya,
keduanya menuju merajan yaitu tempat pemujaan untuk berdoa mohon izin dan restu
Yang Kuasa. Acara ini dipimpin oleh seorang pemangku merajan
Mejauman Ngabe Tipat Bantal:
Beberapa hari setelah pengantin resmi
menjadi pasangan suami istri, maka pada hari yang telah disepakati kedua belah
keluarga akan ikut mengantarkan kedua pengantin pulang ke rumah orang tua
pengantin wanita untuk melakukan upacara Mejamuan/menerima tamu. Acara
ini dilakukan untuk memohon pamit kepada kedua orang tua serta sanak keluarga
pengantin wanita, terutama kepada para leluhur, bahwa mulai saat itu pengantin
wanita telah sah menjadi bagian dalam keluarga besar suaminya. Untuk upacara
pamitan ini keluarga pengantin pria akan membawa sejumlah barang bawaan yang
berisi berbagai panganan kue khas Bali seperti kue bantal, apem, alem, cerorot,
kuskus, nagasari, kekupa, beras, gula, kopi, the, sirih pinang, bermacam
buah–buahan serta lauk pauk khas Bali.
suksma jro
BalasHapussangat jelass suksama :)
BalasHapusTiang mohon ijin tulisannya tiang pasang ring vidio perkawinan yang tiang buat, matur sukseme
BalasHapusmau tanya pak,, apa benar jika kakak ipar (istri dr kakak) sdg hamil,, adiknya tidak di perbolehkan untuk menikah? itu kepercayaan dmn? apa ada dsastra? solusinya bagaimana? mhon pencerahannya pak,, suksma
BalasHapusapakah benar, kakak (laki-laki) dan adiknya (laki2) tidak boleh menikah pada tahun yang sama? apakah ada lontar yang menyatakan hal itu, dan jika memang benar, apa akibatnya jika melanggarnya? mohon pencerahannya
BalasHapusSuksma :)
Mntap pak
BalasHapusPencerahannya sangat bermanfaat
BalasHapusApa boleh menikah dengan saudara yg jaraknya agak jauh. Misal dengan cucu dari adik kandung kakek. Jadi cucu dengan cucu
BalasHapusPewiwahan termasuk golongan apa??????????
BalasHapus