Minggu, 16 Juni 2013

ETIKA HINDU PADA UPACARA CIWA RATRI.



ETIKA HINDU PADA UPACARA CIWA RATRI.

1.      Pendahuluan.
Masyarakat Hindu di Bali adalah masyarakat yang penuh dengan tata krama. Sebab yang menjadi indikator dari masyarakat beradab, adalah prilakunya. Sebagaimana halnya diungkapkan dalam Kakawin Nitisastra, Sargah I, Sloka 6, yang bunyinya :
         Jroningwe parimananala gaganging tunjung dawut kaweruhi.
         Yan ringjatining kulapracara winaya muang sila karmenggita.
         Yan ring pandita ring ksama mudita santopeksa rismardawa.
         Sang sastrajanya wuwusnira mretapadanya ngdesutusteng praja.
         Artinya ;        
         Jika engkau ingin mengetahui dalamnya air telaga,
         Cabutlah batang tunjung sebagai penduga.
         Kebangsawanan seseorang nampak pada tingkah laku, tabiat
         Serta gerak-geriknya.
         Tanda Pendeta adalah kesabaran, keikhlasan, kehalusan dan
         Ketenangan budhinya.
         Tanda orang yang sempurna ilmunya, bahasanya bagai air kehidupan
         Dapat membikin tenang dan girang orang yang mendengarnya.
Kalau kita simak dari sloka diatas, sudah barang tentu Etika, sangat penting dalam hidup bermasyarakat, bahkan yang menjadi opini dalam masyarakat, bahwa, kemampuan orang bukan dilihat dari kesanggupannya melafalkan ayat- ayat Weda, tetapi sejauh mana prilakunya dapat dikatakan baik oleh masyarakat.
Oleh sebab itu ada tiga indikator yang menjadi ukuran masyarakat, yaitu:
·      Sosio Theologis, hubungan antara manusia dengan Tuhan, sifatnya sangat pribadi dan individual, dan semua manusia sama kedudukannya dihadapan Hyang Widi.
·      Sosio Sosiologis, hubungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dalam komonitas masyarakat. Masyarakat adalah penentu dan menjadi wasit dalam mencari pembenaran. Masyarakat yang mengatakan itu benar dan itu salah.
·      Sosio Kultural, gabungan kedua unsur diatas, dengan imflementasinya menyerap kearifan budaya lokal, sesuai dengan tradisi setempat, yang memunculkan sikap religius dalam habitat masyarakat.
Terhadap hal itu  sesuai dengan salah satu ajaran Agama Hindu yang disebut dengan  Tiga kerangka Agama Hindu.Tiga Kerangka Agama Hindu, yaitu, Tattwa Susila dan Upakara, semua unsur itu memiliki nilai Etikanya.  Sehingga Etika mendominasi dalam setiap aktifitas manusia dalam masyarakat.
Begitu juga halnya Etika dalam Upacara, seperti Etika Upacara Ciwa Ratri. Nilai Etika yang kita gali, bukan semata- mata tatakrama dalam upacara tersebut, tetapi mencoba mencari makna melalui penyelidikan dengan mempergunakan akal budhi tentang baik dan buruk prilaku yang ditimbulkan dalam Upacara Ciwa Ratri. Ciwaratri adalah hari suci untuk melaksanakan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudan-Nya sebagai Sang Hyang Siwa. Hari Siwaratri mempunyai makna khusus bagi umat Hindu, karena pada hari tersebut Sang Hyang Siwa diyakini sedang melakukan yoga semadi. Sehubungan dengan hal tersebut, umat Hindu mengadakan kegiatan yang mengarah pada usaha penyucian diri, pemusatan pikiran kehadapan Sang Hyang Siwa, dalam usaha menemukan "kesadaran diri" (atutur ikang atma ri jatinya). Hari Siwaratri jatuh pada hari "Catur Dasikrsnapaksa" bulan "Magha (panglong ping 14 sasih kapitu).
2.  Upacara Ciwa Ratri.
Di dalam sastra hindu yaitu lontar Lubdhaka (oleh Mpu Tanakung) disebutkan tentang pelaksanaan hari Ciwaratri. Pelaksanaan hari Ciwaratri diawali dengan pembersihan badan dengan cara mandi di pagi hari. Setelah melakukan persembahyangan pagi, kemudian dilanjutkan dengan melakukan puasa. Pada malam harinya dilakukan sambang samadhi yaitu tidak tidur semalam suntuk dengan cara menenangkan pikiran atau membaca kitab-kitab suci.
Adapun brata Ciwaratri tediri dari tiga macam pantangan yaitu: monabrata (tidak berbicara), upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan jagra (tidak tidur).
Ketiga macam pantangan tersebut dilakukan dengan tiga tingkatan sesuai dengan kemampuan. Tiga tingkatan tesebut adalah: 
  1. Utama, melaksanakan: monabrata, upawasa, dan jagra
  2. Madya, melaksanakan: upawasa dan jagra
  3. Nista, melaksanakan: jagra
  4. Lebih lanjut tentang pelaksanaan Ciwaratri adalah sebagai berikut:
4.1   Untuk Sang Sadhaka disesuaikan dengan "dharmaning kawikon".
4.2  Untuk Walaka, didahului dengan melaksanakan "sucilaksana" (mapaheningan) pada pagi hari panglong ping 14 sasih kapitu. Upacara dimulai pada hari menjelang malam dengan urutan sebagai berikut :
  • "Maprayascita" sebagai pembersihan pikiran dan bathin.
  • Ngaturang banten pajati (mempersembahkan sesajen pajati) di Sanggar Surya disertai persembahyangan kehadapan Sang Hyang Surya, mohon kesaksian-Nya.
  • Sembahyang kehadapan leluhur yang telah "sidha dewata" mohon bantuan dan tuntunannya.
  • Ngaturang banten pajati kehadapan Sang Hyang Siwa. Banten ditempatkan pada "Sanggar Tutuan" atau "Palinggih Padma" atau dapat pula pada "Piasan" di Pemerajan atau Sanggah. Kalau semuanya tidak ada, dapat pula diletakkan pada suatu tempat di halaman terbuka yang dipandang wajar dan diikuti sembahyang yang ditujukan kepada Sang Hyang Siwa dan Dewa Samodhaya. Setelah sembahyang dilanjutkan dengan nunas (mohon) "Tirta Pakuluh". Terakhir adalah "masegeh" di depan Sanggar Surya. Rangkaian upacara Siwaratri ditutup dengan melaksanakan "Dana Punia"
  • Sementara proses itu berlangsung, agar tetap mentaati upawasa dan jagra. Upawasa berlangsung dari pagi hari pada panglong ping 14 sasih kapitu sampai dengan besok paginya (24 jam). Setelah itu sampai malam (12 jam) sudah bisa makan nasi putih berisi garam dan minum air putih. Jagra yang dimulai sejak panglong ping 14 berakhir besok harinya Pukul 18.00 (36 jam).
  • Persembahyangan kehadapan Sang Hyang Siwa dengan banten pajati, dilakukan tiga kali, yaitu pada hari menjelang malam panglong ping 14 sasih kapitu, pada tengah malam, dan besoknya menjelang pagi


3. Etika Dalam Hari Ciwa Ratri.
      Siwaratri pada hakikatnya merupakan sebuah ajaran untuk membangkitkanperjuangan umat Hindu untuk selalu sadar akan dirinya yang selalu diancam olehberbagai hambatan. Upacara Siwaratri bertujuan memberikan pengetahuan kepadamanusia agar menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada pertarungan antarakebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, sebaik-baiknya manusia, pasti pernahberbuat dosa selama hidupnya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia, pastipernah berbuat baik selama hidupnya. Hanya saja sejauh mana diri kita mampuuntuk mengambil hikmah dari semua itu.Menyadari hal itu, Siwaratri dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepadasetiap umat Hinduuntuk selalu sadar dan berusaha semaksimal mungkinmenghindari perbuatan dosa dan selalu berikhtiar untuk memperbanyak perbuatandharma. Meskipun manusia sulit menghindari perbuatan dosa, bagaimana punbesarnya perbuatan dosa yang telah diperbuatnya, tidak tertutup jalan untuk
menuju dharma.Siwaratri memotivasi manusia untuk tidak berputus asa kembali ke jalan dharma.
Pintu dharma selalu terbuka lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatandosanya. Cerita Lubdaka, si pemburu yang pekerjaan sehari-harinya berburubinatang, sebagai salah satu contoh. Tetapi, masih relevankah figur Lubdakayang diceritakan pada malam Siwaratri dengan kehidupan sekarangDari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagaiberikut : Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, makatimbullah rasa ingin dekat dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Rasakeinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara(berjapam/mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dan sebagainya.Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malampenebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu.Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksidari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yangmenyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam
peleburan dosa.
Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata :
1.      Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Monobrata berarti bagaimana kita meminimize ucapan yang negative point kpd orang lain, kurangi berbicara, perbanyak Asmaranam menyebutkan Nama-nama Hyang widhi ( Om Na, Ma, Ci, Wa, Ya ) dsb.
2.      Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Konsep kekinian makan jangan sampai berlebihan, karena disatu sisi masih banyak kita melihat saudara kita yang kekurangan dalam hal makanan. Dan kita memaknai Upawasa sebagai perwujudan untuk dapat  melakukan yadnya dengan menyisihkan makanan yang berlebihan itu kepada saudara  kita yg sangat membutuhkannya. 
3.      Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). kita pergunakan berdiskusi, belajar tentang Tatwa, tentang tutur-tutur pinehayuan lan ke ahdiatmikaan, atau barangkali bedah Bhagawagt bisa jadi Manawa dharmasastra, Sarasamuscaya, kekidung lan kekawin. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.Jadi dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh ahamkara nafsu-nafsu indrianya/raganya, serta kegelapan yang tak mampu untuk mengintrospeksi dirinya, sehingga kabut gelap yang selalu menyelimutinya.Itulah sebabnya sangat dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri pada Tilem Kepitu yaitu sehari menjelang Tilem Kepitu. Yang tujuannya untuk mengurangi kepapaan dari nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh umat manusia.
4. Kesimpulan.
Niyasa yang terungkap dalam Lubdaka Kalpa adalah :
1.      Tilem ke pitu adalah malam yang tergelap dari malam malam lainnya, karena tiada yang lebih gelap dari ”SAPTATIMIRA” PETENG PITU”
2.      JAGRA : Mengurangi durasi tidur dengan jalan memperbanyak improvisasi diri dengan memplejari ilmu ilmu keagamaan yang kita yakini ”HINDU”
3.      MONOBRATA : Mengurangi pembicaraan yang tidak baik, mempitnah, menipu, gosif, serta berbohong, perbanyak dengan ASMARANAM Melakukan japa mala.
4.      UPAWASA : mengurangi makan yang berlebihan, serta meyadnyakan dananya untuk disumbangkan kepada oran orang yang jauh lebih papa dari kita, baik itu berupa makanan, maupun berbentuk dana-dana yang lainya seperti Rumah- sakit, sekolah, serta buku buku agama. Dllnya.
5.      Pemburu Satwa : Mencari tatwa, dengan membunuh sifat himsa karma ( kebinatangannya, dengan meningkatkan sifat sifat satwan dlm triguna sakti )
6.      Naik Kayu dimalam hari : Munggah kayun dengan statement menghilangkan kegelapan, mulai sejak Siwa linggam dimalam hari, commit untuk selanjutnya harus berubah, karena hari esok harus lebih baik dari yang sekarang, itu prinsip
Demikian, semoga apa yang telah saya uraikan pada kesempatan ini akan bermamfaat bagi kita semua. Dan sebagai akhir kata saya ucapkan terima kasih.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om