Selasa, 03 April 2012






TRI HITA KARANA
Oleh. JM.PICA.
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Filosofis hidup yang disebut Tri Hita Karana itu bukan hanya ada di Bali saja. Di tingkat Nasionalpun filosofis itu menjadi landasan pembangunan bangsa Indonesia. Demikian juga di tingkat Internasional atau global hal ini juga ada, cuma tidak bernama Tri Hita Karana, namanya konsep hidup seimbang. Oleh karena itu umat Hindu di Bali jangan sampai bersifat arogan karena mempunyai istilah Tri Hita Karana. Lebih baik wujudkan falsafah hidup itu lebih nyata dari pada kita bersombong ria yang kosong. Kita bisa terjebak melamun bernostalgia pada keindahan masa lalu. Padahal dihadapan kita banyak persoalan-persoalan pelik yang sedang menghadang kita. Falsafah hidup berdasarkan hidup  Tri Hita Karana ini memang sudah diajarkan dalam kitab suci Bhagawad Gita III, 10. Meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana tetapi dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena itu manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada alam lingkungan (Kamadhuk). Oleh karena itu Tri Hita Karana bukanlah sekedar konsef tata ruang.
Untuk menilai bahwa Tri Hita Karana sudah terwujud dengan baik dalam masyarakat perlu ditentukan terlebih dahulu tolak ukur yang dijadikan dasar acuan untuk menilainya. Misalnya menilai hubungan manusia dengan Tuhan, Dapatkah hubungan manusia dengan Tuhan dinilai sudah sukses karena banyaknya Pura yang dibangun dan direnovasi. atau diukur dari banyaknya rakyat mengeluarkan duit untuk kepentingan upacara Agama. Konon di Bali setiap tahun umat Hindu menghabiskan tiga setengah triliyun rupiah lebih untuk kepentingan upacara Agama. Mungkin dari segi ekonomi bagus karena banyaknya uang yang beredar di masyarakat bawah. Namun dari segi pembenahan moral dan mental perlu kita telusuri. Sudahkah nilai-nilai Agama yang dikandung oleh upacara Agama itu teraplikasi dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial. Bahkan nampaknya masih banyak umat Hindu tidak mengerti apa makna suatu Upacara Agama dilangsungkan. Pura yang banyak itu sudahkah digunakan dengan tepat untuk membina umat. Kalau pura hanya digunkan saat odalan atau upacara agama pada suatu saat belumlah patut kita berbangga ria. Karena fungsi pura bukan hanya untuk upacara semata . Pura umumnya memiliki Jaba sisi, Jaba tengah dan Jeroan Pura. Hal ini belum difungsikan secara benar, bahkan jaba sisi lebih banyak digunakan untuk menggelar judian dalam bentuk sabungan ayam, dan bentuk-bentuk judian lainnya. Sudahkah sebagaian besar umat melakukan hubungan dengan Tuhan sesuai dengan petunjuk ajaran Agama Hindu yang dianutnya, seperti Trisandya, Sembahyang Purnam-Tilem dan lain sebagainya. Meskipun mengukur hubungan antara manusia dengan Tuhan tidak bisa diukur dari hubungan formal seperti itu saja. Ada banyak cara yang dibenarkan oleh kitab suci untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan di luar yang formal seperti itu. Dalam satu persoalan saja hubungan manusia dengan Tuhan kita akan banyak sekali menemukan realita yang masih jauh dari idialisme Tri Hita Karana. Oleh karena itu belumlah waktunya kita berbangga-bangga. Orang yang mudah berbangga-bangga itu cepat puas diri dan ujung-ujungnya sering menjadi sombong. Dari berpuas diri dan sombong kita bisa lengah dan lemah menghadapi berbagai persoalan yang masih membentang di hadapan kita. Kelengahan dan kelemahan ini merupakan awal dari suatu kegagalan. Karena itu bangga yang berlebihan (dambhah) dan sombong (darpah) tergolong sifat-sifat Asura menurut Bhagawad Gita XVL. 4. Membanggakan diri yang berlebihan dapat menimbulkan sikap untuk menganggap rendah fihak lain. Menganggap orang lain lebih rendah dengan diri merupakan suatu bibit permusuhan yang tersembunyi. Menurut ajaran Rwa Bineda semua ciptaan Tuhan di kolong langit ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bentuk kelebihan dan kekurangan ini berbeda-beda. Setiap kita merasa memiliki kelebihan hendaknya juga kita serius meneliti kekurangan kita. Dengan demikian kita akan dapat mencegah timbulnya sikap takabur. Karena sikap takabur seperti itu kita bisa mandeg untuk mengembangkan proses perbaikan diri karena sudah menganggap diri berhasil. Oleh karena itu janganlah dulu berbangga ria tentang penerapan Tri Hita Karana di Bali, karena masih banyak bolong-bolongnya, marilah kita kerja terpadu untuk menutup bolong-bolong tersebut.

1.2. Rumusan Masalah
  1. Apakah difinisi dari pada Tri Hita Karana ?
  2. Bagaimana proses penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan kita ?
  3. Makna apa yang diperoleh dari adanya TRI Hita Karana ?

1.3. Tujuan Permasalahan
  1. Mengetahui dipinisi dari Tri Hita Karana
  2. Mengetahui proses penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan kita
  3. Mengetahui makna yang diperoleh dari adanya Tri Hita Karana


 BAB II
PEMBAHASAN

2.1. . Tri Hita Karana bila dikaji dari segi Ontologi.
            Bila dikaji dari segi Ontologi Tri Hita Karana itu sendiri adalah pengkajian lebih menitik beratkan pada kajian aspek difinisi itu sendiri, artinya difinisi dari Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari kata Tri, Hita dan Karana. Tri artinya tiga, Hita artinya Bahagia sedangkan Karana artinya penyebab.  Maka Tri Hita Karana adalah tiga penyebab dari suatu kebahagian.
            Adapula yang mengatakan bahwa Tri Hita Karana adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan.
            Dalam kitab Purana juga dikatakan bahwa Tri Hita Karana adalah suatu keharmonisan antara hubungan manusia dengan Tuhan berdasrkan Sradha dan Bhakti. Hubungan antara sesama manusia berdasarkan saling pengabdian (Sevanam) dan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan berdasarkan kasih sayang.
            Konsep Tri Hita Karana adalah suatu konsep yang menyangkut konsep kebersihan sekala (fisik) dan konsep kesucian niskala (batin spiritual). Konsep ini juga memberikan jaminan adanya keselarasan antar konsep pikiran (mancika) konsep perkataan (wacika)  dan konsep perbuatan (kayika) yang lebih dikenal dengan konsep Tri Kaya Parisuda. Konsep Tri Hita Karana telah menjadi konsep idial dalam menata kehidupan desa pakraman yang dahulu disebut desa adat

2.2. Tri Hita Karana dikaji dari segi Efistimologi.
            Pengkajian dari segi Efistimologi lebih menekankan kepada aspek Proses pelaksanaan dar Tri Hita Karana itu sendiri.
            Sebelum ke proses pelaksanaan  dalam kehidupan alangkah baiknya kita ungkap sekelumit sejarah Tri Hita Karana yaitu mengenai konsep hidup idial seperti ini diterapkan pada abad ke sebelas untuk menata kehidupan umat Hindu di Bali. Pada abad tersebut Mpu Kuturan mendampingi Raja menata kehidupan umat Hindu di Bali. Dalam Lontar Mpu Kuturan disebutkan Mpu Kuturanlah yang menganjurkan kepada raja untuk menata kehidupan di Bali. “ Manut Linging Sang Hyang Aji “ artinya menata kehidupan berdasrkan ajaran kitab suci Weda. Di setiap Desa Pakraman dibangun Khayangan Tiga untuk Sang Catur Warna.. Jadinya Desa Pakraman inilah wadah Sang Catur Asrama dan Catur Warna untuk mewujudkan tujuan hidup mencapai Catur Warga yaitu Dharma, Artha , Kama dan Moksa. Di dalam Desa Pakraman inilah diciptakan suatu tatanan untuk mengembangkan Sradha dan Bhakti pada Tuhan dan pada Dewa Pitara saling mengabdi pada sesama dalam wujud Pasuka-dukan di Desa Pakraman serta mengembangkan cinta kasih pada sarwa prani. Pengembangan cinta kasih pada alam lingkungan diajarkan dalam kitab Sarasamuscaya 135 dengan istilah phihan tikang Bhutahita. Artinya usahakanlah kesejahtraan semua mahluk itu akan menjamin tegaknya  Catur Warga atau empat tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya. Dari istilah Bhuta Hita inilah timbul tindalkan Bhuta Yadnya artinya beryadnya kepada semua mahluk ciptaan Tuhan. Kehidupan rakyat pada lampau masih sangat tergantung pada pada budaya agraris tentunya pengamalan ajaran Tri Hita Karana dalam nuansa agraris telah berhasil mengembangkan hasil budaya agraris yang adi luhung. Budaya yang dihasilkan oleh pengamalan Tri hita Karana pada masa agraris itulah yang menyebabkan Bali menjadi pulau Hindu yang sangat terkenal sampai menembus ke dunia internasional.
            Proses Penerapan Tri Hita Karana dilakukan dengan tiga jalan yaitu:
1. Hubungan Manusia dengan Tuhan ( Parhyangan )
            Hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam lingkungan bukan merupakan hal yang terpisah-pisah. Tiga hubungan tersebut harus menyatu dan terpadu membentuk sikap hidup dalam konsep Tri Hita Karana. Kalau ia sudah menjadi sikap hidup yang integral dalam diri barulah Tri Hita Karana itu menampakan hasil memberikan kebahagian pada manusia. Makna hubungan antara manusia dengan Tuhan harus mengejawantah pada hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungan. Dari meningkatnya kwalitas hubungan antara manusia dengan Tuhan itulah yang menjadi penyebab meningkatnya hubungan yang lain. Hubungan antara manusia dengan Tuhan dala Tri Hita Karana tidak hanya untuk mempertemukan Atman dengan Brahman untuk mencapai Moksa. Memuja Tuhan bukan untuk melupakan kehidupan duniawi. Memuja Tuhan justru untuk mendatangkan kekuatan suci untuk menata kehidupan di dunia agar kehidupan di dunia menjadi semakin berkualitas. Sraddha dan Bhakti umat pada Tuhan harus mampu didaya gunakan untuk dijadikan landasan spiritual menuntun manusia di dunia ini menuju kehidupan yang bahgia. Meningkatnya Sraddha dan Bhakti pada Tuhan dimasa lampau berbeda dengan memuja Tuhan pada jaman moderen dewasa ini. Pada jaman dahulu kehidupan masih sangat kental budaya agraris persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia sangat berbeda dengan persolan hidup pada masa industri sekarang. Hal ini timbul karena adanya perubahan hidup kebutuhan hidup manusia. Dalam masyarakat agraris kebutuhan hidup manusia sangat sederhana, baik yang menyangkut kebutuhan hidup yang bersifat biologis, sosiologis maupun kebutuhan filosofis.
            Pada jaman moderen hubungan antara manusia dengan manusia semakin dinamis dan multi dimensi. Hal ini terjadi karena semakin majunya teknologi transportasi dan teknologi komunikasi. Kemajuan itu membutuhkan adanya peningkatan kwalitas  moral dan daya tahan mental untuk mempertahankan identitas diri . Tanpa kekuatan moral dan mental yang semakin tinggi manusia akan kehilangan kesempatan mendapatkan kehidupan yang bahagia.
            Bukti nyata adanya penerapan konsep Parhyangan di Bali umumnya dan di Karangasem khusunya adalah adanya kesadaran dan tuntunan batiniah terhadap kehadiran kahyangan pada setiap desa pakraman. Konsep kahyangan berfungsi sebagai sesuatu yang disakralkan baik dalam wujud sebagai sanggah, pemerajaan paibon dan kahyangan desa. Pola penempatan kahyangan ditentukan berdasarkan tata arsitektur tradisional tersendiri yang dalam kenyataanya berorientasi pada konsep tempat  hulu- teben”. Selain itu juga konsep arah kaja-kangin sebagai arah hulu (luan) sedangkan kelod-kauh merupakan arah teben. Dalam kehidupan sehari-hari konsep ini nampak jelas pelaksanaannya dalam masyarakat kesemuamya bertujuan untuk mewujudkan keharmonisan keseimbangan dalam kehidupan mayarakat.
            Disamping yang disebutkan di atas di setiap ruamgan rumah juga ada pelangkiran, disetiap keparangan rumah pada bagian uranusnya keluwan) ada merajaan Kemulan. Disetiap banjar ada tempat pemujaan. Di Bali banyak sekali umat punya wantilan , balai banjar, pura dengan jaba sisi, jaba tengah dan jeroan pura. Semua ini dapat difunsikan lebih intensif lagi untuk mengembangkan pemujaan pada Tuhan yang lebih spiritual.



2. Hubungan Manusia dengan Manusia (Pawongan)
            Hubungan antara manusia dengan manusia haruslah saling beryadnya dalam pengamalan Tri Hita Karana. Hubungan saling beryadnya itu dalam kesetaraan yang adil. Setiap swadarma yang dimiliki oleh setiap orang dijadikan peluang untuk beryadnya pada orang lain. Kalau masih antar sesama bahkan antar kelompok tidak ada sikap saling beryadnya maka apa yang dikumandangkan sebagai Tri Hita Karana belum dapat kita katakana berjalan berjalan dengan baik.
            Sebagai ilustrasi bagaimana kita bisa menyebut hubungan antar sesama berjalan harmonis kalau masih ada warga yang arogan mengkelaim diri paling punya martabat. Ada suatu warga adat mengambil keputusan adat yang bertentangan dengan kebenaran agama. Seperti menghukum anggota krama adat yang dianggap bersalah dengan hukuman yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi seperti ada warga kasepekang gara-gara menggantung kursi plastik di dekat padmasana yang terjadi di Tabanan baru-baru ini. Sehingga mengakibatkan dikenai denda sebanyak 200 juta. Adat yang demikian ini jelas adat yang tidak bermartabat.
            Untuk itu kesadaran terhadap pelaksanaan kewajiban dari setiap anggota masyrakat/kerama sangat perlu diupayakan. Guna merealisasikan upaya itu maka setiap desa pakraman secara otomatis berhak dan berkewajiban untuk membuat peraturan-peraturan atau yang lazim disebut dengan awig-awig yang berfunsi sebagai pedoman untuk mengatur masyarakat. Pada awalnya awig-awig tersebut merupakan suatu aturan yang tidak tertulis, namun lambat laun sudah banyak yang menuangkan awig-awig tak tertuis itu menjadi awig-awig tertulis. Setiap anggota krama wajib mematuhi dan mentaati awig-awig tersebut. Di dalam awig-awig tersebut telah diletakan dasar hubungan yang harmonis antara:
  1. Setiap anggota krama dengan Tuhan
  2. Antara anggota krama yang satu dengan anggota karma yang lainnya.
  3. Antara krama dengan lingkungan desannya
Awig-awig tersebut juga bukan hanya mengatur masalah hak dan kewajiban setiap anggota desa pakraman, tetapi juga mencakup sanksi-sanksi berupa denda, sanksi fisik, sanksi moral (spiritual) yang dirasakan cukup berat akibatnya jika dilanggar oleh setiap anggota desa pakraman, mau tidak mau, suka tidak suka, harus tunduk pada awig-awig tersebut. Semua itu adalah sarana pengikat yang memungkinkan terwujudnya kesatuan dan persatuan dengan landasan jiwa kekeluargaan dan kegotong royongan yang bersifat musyawarah mufakat. Lebih dari itu bahwa dasar yang menjiwai awig-awig adalah “salulung sabhayantaka”  artinya suka cita dan duka bersama.
Peranan para pemimpin desa pakraman yang lazim dilaksanakan secara kekeluargaan dengan beberapa perangkatnya merupakan pengemudi yang menghantarkan masyarakat pada kehidupan yang bercorak stabil sekaligus dinamis. Yang dimaksudkan dengan stabil adalah suasana atau kondisi masyarakat yang memungkinkan untuk melakukan aktivitas tanpa tergannggu. Sedangkan dinamis adalah kebebasan setiap anggota krama untuk melakukan aktivitas dan krativitasnya. Dengan demikian proses perubahan kearah kemajuan tetap terjadi dengan dukungan factor stabilitas lingkungan.

3. Hubungan Manusia dengan Lingkungannya ( Palemahan)
            Kalau manusia ingin hidupnya sejahtra maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mensejahtrakan alam dan isinya. Alam memberikan manusia itu tempat dan sumber penghidupan. Itu artinya alam telah beryadnya kepada manusia. Karena itu manusiapun wajib beryadnya kepada alam. Inilah yang disebut dengan Cakra Yadnya dalam Bagawadgita III. 16. Barang siapa yang tidak memutar Cakra Yadnya pada hakekatnya mereka itu jahat dalam hidunya. Contoh nyata dari penerapan Cakra Yadnya di Karangasem Khususnya dan Bali pada umumnya adalah :
  1. Upacara Tumpek Bubuh pada masyarakat Bali yang dilaksanakan pada hari Saniscara Keliwon Wariga setiap 210 hari sekali. Tujuan pelaksanaan hari ini adalah untuk melestarikan lingkunagan. Dan sekaligus upacara ini adalah dalam rangka pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan.
  2. Upacara Tumpek Kandang yang diselenggarakan untuk menyatakan terimakasih kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Pasupati Pencipta Binatang seperti ayam, itik, babi dan sapi yang telah membantu pekerjaan manusia maupun sebagai makanan. Upacara ini dilaksanakan pada hari Saniscara Keliwon Uye setiap 210 hari sekali.
Dalam membangun Balipun dinyatakan dalam lontar Purana Bali untuk berpegang pada Sad Kerti yaitu : melestarikan alam yang disebut dengan Samudra Kerti,Wana Kerti dan Danu Kerti. Ini artinya kita wajib membangun kelestarian samudra, hutan dan semua sumber-sumber air. Alam yang lestari itulah sebagai modal dasar untuk membangun kehidupan masyarakat dan manusia yang sejahtra. Upaya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtra itulah yang disebut dengan Jagat Kerti dan jana Kerti dalam lontar Purana Bali. Dalam hubungan dengan Tri Hita Karana konsep ajaran Hindu dalam pelestarian ala mini hendaknya diwujudkan dengan usaha sadar terperogram baik oleh pemerintah maupun oleh umat Hindu sendiri. Karena perwujudan dari upaya pelestarian alam baru dilakukan baru dilakukan dalam kegiatan upacara yadnya. Sepaerti mecaru dalam Bhuta Yadnya. Tujuan Bhuta Yadnya adalah Bhuta Hita artinya mensejahtrakan alam. Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan Bhuta Yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. Makna upacara Bhuta Yadnya menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran itu melakukan upaya untuk melestarikan kesejahtraan alam.  Sebab usaha untuk melestarikan alam dalam Tri Hita Karana itu sebagai salah satu unsur yang mutlak. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Bhuta Yadnya harus diwujudkan dengan perbuatan nyata. Seperti contoh sehabis melakukan upacara Bhuta Yadnya hendaknya sampah-sampah tidak dibiarkan berseraka, dan juga membuang sampah hendaknya tertuju pada tempat samapah bukan sebaliknya membuang sampah seenaknya sehingga berakibat kurang baik terhadap lingkungan sekitar dan juga mengakibatkan terjangkitnya penyakit.

3. Tri Hita Karana dikaji dari segi Aksiologi.
            Pengkajian Tri Hita Karana dilihat dari kajian Aksiologi yaitu pengkajian dari segi makna dari Tri Hita Karana itu sendiri. Artinya Tri Hita Karana ini adalah merupakan paying hukumnya manusia dalam melakukan suatu aktivitas mengapa? Karena konsep dari Tri Hita karana itu sndiri adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan. Hal ini didukung oleh beberapa kitab dan lontar diantaranya yaitu :
  1. Dalam Lontar Mpu Kuturan disebutkan Mpu Kuturanlah yang menganjurkan kepada raja untuk menata kehidupan di Bali. “ Manut Linging Sang Hyang Aji “ artinya menata kehidupan berdasrkan ajaran kitab suci Weda. Di setiap Desa Pakraman dibangun Khayangan Tiga untuk Sang Catur Warna.. Jadinya Desa Pakraman inilah wadah Sang Catur Asrama dan Catur Warna untuk mewujudkan tujuan hidup mencapai Catur Warga yaitu Dharma, Artha , Kama dan Moksa. Di dalam Desa Pakraman inilah diciptakan suatu tatanan untuk mengembangkan Sradha dan Bhakti pada Tuhan dan pada Dewa Pitara saling mengabdi pada sesama dalam wujud Pasuka-dukan di Desa Pakraman serta mengembangkan cinta kasih pada sarwa prani.
  2. Kitab Sarasamuscaya 135 dengan istilah phihen tikang Bhutahita. Artinya usahakanlah kesejahtraan semua mahluk itu akan menjamin tegaknya  Catur Warga atau empat tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya. Dari istilah Bhuta Hita inilah timbul tindalkan Bhuta Yadnya artinya beryadnya kepada semua mahluk ciptaan Tuhan.
  3. Bhagawad Gita III, 10. Meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana tetapi dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena itu manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada alam lingkungan (Kamadhuk).
  4. Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan Bhuta Yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. Makna upacara Bhuta Yadnya menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran itu melakukan upaya untuk melestarikan kesejahtraan alam.  Sebab usaha untuk melestarikan alam dalam Tri Hita Karana itu sebagai salah satu unsur yang mutlak. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Bhuta Yadnya harus diwujudkan dengan perbuatan nyata                                                                                                                                                                                                                  BAB III
PENUTUP

1 Simpulan.
            Konsep Tri Hita Karana benar-benar harus kita pahami dan sekaligus harus kita terapkan di dalam kehidupan masyarakat karena Tri Hita Karana itu sendiri merupakan tiga penyebab kebahagiaan, yang pembagiannya yaitu : Pawongan yaitu hubungan manusia dengan manusia, Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam, Parahyangan yaitu hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widi.
            Manusia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, dia membutuhkan orang lain. Manusia perlu hubungan yang harmonis dengan sesamanya. Manusia sangat tergantung dengan alam sekitarnya. Alam menyediakan keperluan hidup manusia. Ada udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan, binatang dan lain-lain. Maka dari itu kewajiban kita adalah menjaga alam ini agar tidak rusak, karena merusak alam sama artinya dengan merusak diri sendiri. Karena manusia ciptaan Sanghyang Widi maka kita wajib dan hormat dan ingat selalu kepada beliau dengan cara rajin sembahyang serta mengamalkan/ melaksanakan perintahnya dan menjahui segala larangannya. Andaikata manusia mampu melaksanakan konsep ini saya optimis alam/ dunia ini akan menemui apa yang dinamakan Jagadhita Ya Caiti Dharma.

2. Saran
            Menyadari serba keterbatasan penulis maka dengan kerendahan hati saya meminta kritik dan saran terhadap para pembaca peper ini, karena tanpa kritik dan saran membangun dari para pembaca mustahil apa yang saya perbuat tidak akan bisa sempurna. Trimakasih

           

DAFTAR PUSTAKA

  1. Donder I Ketut, Kosmologi Hindu
  2. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Semara Ratih Pendidikan Agama Hindu
  3. _______________, 1992, Warta Hindu Dharma
  4. Wiana I Ketut, Drs, Mengapa Bali disebut Bali




























Senin, 02 April 2012

Mitologi Pura Kebon Agung: Mitologi Pura Kebon Agung.

Mitologi Pura Kebon Agung: Mitologi Pura Kebon Agung.: Mitologi Pura Kebon Agung. Wawancara Tgl. 1 Maret 2012 . Nara sumber : I Ketut Ngenteg, 70 Th.      Pada Tahun 1700 Masehi dice...

GAGELARAN JERO MANGKU KAPUPUL ANTUK JERO MANGKU PURA Penataran KEBON AGUNG



GAGELARAN JERO MANGKU
KAPUPUL ANTUK
JERO MANGKU
PURA Penataran KEBON AGUNG








OLIH
JERO MANGKU SUYADNYA PUTRA



I. MANTRA SERAINA-RAINA MINAKADI RIKALANING PACANG NGANTEB RING PURA.
       
1.




2.



3.


4.


5.


6.

7.

8.









9.

10.

11

12

13


14.



15.



16.





17.


18.



19.



20.



21.

22.







23.







24.




25.



26.

27
.


28.

















29.





30.


31.





32.


33.


















34.




























35.











36.









37.














38.







39.

























40.












41.









42.




















43.



44.




45.





46.




47.














48.












49.














50.





51.


52.





53.





Pacang Maturu/Sirep.




Mewarih.



Makoratan.


Macamana/Mewasuh
Muka.

Mekramas/mewasuh rambut.

Masiram.

Sesampun usan masiram.

Merayunan :

  a. Larapan Catur sanak.

  b. Nayub Toya.

  c. Merayunan.



Pacang ke Pura :

Mewastra.

Mekampuh.

Mamekekin.

Makwaca.


Asana/Pada Asana
( sedereng ka Pura)


Pacang ka Pura, Rauh ring ajeng Candi bentar.


Ngunggahang Sangku ring palinggihe.




Malinggih ( Ngawit ngawekasang banten )

Pranayama.



Karasudhana.



Astren Asep.



Puja sekar.

Ngalinggihang Sastra ring sarira.






Ngalinggihang Dewa ring sarira.






Makebat tikeh, Mametik plawa, Makeni caniga.



Nglinggihang asep.



Mersihin sarana Banten.

Ngalinggihang Dewa.



Makarya tirtha prayascita raga. ( uder ping tiga raris siratang ring raga )















Makarya bija
( anggen ring raga. )




Genahang bijane ring tangan kiwa raris uder .

Ngenahang Bija.





Sembah Kuta Mantra.
Sembah Ciwa amertha.

Ngaskara Bajra
( Siratin ,Asepin )

















Ngaksama.( Ngawit Nganggen Bajra )
Astra Mantra.


























Nunas Warenugraha.











Mekarya Tirtha Pangelukatan.
Mantra Apsu Dewa.







Mantra Panca Aksara Stawa.













Sapta Gangga Stawa.







Panca Dewa Stawa.

























Ngastawa Kesurya
( Ngelungsur Upasaksi )











Ngastawa Bhatara ( Kahyangan Stawa)








Ngastawa Bhatara Sane Malinggih ring Pura suang-suang .


















Pareresik Stawa ( Kerik karmas )


 Nyiratang Toye Anyar.




Ngaturang Teenan.





Gandak Satam.




Nganteb banten/Tribhuwana Stawa.












Pamuktian (Ngaturang sarin-sarin Aturan )











Ngaturang Segehan/Labaan.













Kramaning Sembah nganutin kadi sane sampun-sampun.



Peras Penganteb Stawa.


Ngaturin Ida Bhatara Mantuk.




Mralina Gentha.
Om Sanghiang rambut katemah,
umandeling awak sariraning hulun,
guruning turyaturu,
swapna jagra ya namah swaha.

Om banyu sirna nirwigna,
Ida pinggala sumsuna,
Ya namah swaha.

Om Pratiwi Gangga parama suka
Yanamah swaha.

Om Parama Gangga amerta paripurna ya namah swaha.


Om sri-sri ya namah swaha.


Om Om Adyus mami Bhatari Gangga
Sanghiang Taya Anglukat mala patakaning ngulun yanamah swaha.
Om Sri Gangga Maha Dewi parama suka yanamah swaha.



Om Bhuta Bhuh Bhukti yanamah swaha.

Om Gangga Amertha ya namah swaha.

Om Dewa Dewata Bhatara hambojana.
Hangisep sarining surya candra ageni,
Hadi sadrasa grih sriya tekeng don yanamah swaha.



Om Tas Paragya mawastra mami budha bhusana wisesa sudha nirmala yanamah swaha.
Om Kawosana mami budha bhusana wisesa sudha nirmala yanamah swaha.
Om Tas paragia mami Budha sidhi yanamah swaha.

Om Rung kawaca yanamah swaha.


Om Prajabutadi namaswaha.
Manusa Dibyadi namaswaha.
Dewa sira aksamamasiha.
Om Hyang Purna sidhi prayojana yanamah swaha.
Om Dwara menga.
Om Sanghiang Dewabhutadi masiha
Prayojana hangacetana yanamah swaha.

Om Pakulun Paduka Bhatara
Ngulun hangaturaken tirta
Hanedha wangsuh tangan muang wangsuh suku.
Om Ciwa, Sada Ciwa, Parama Ciwa, Parama Bhuda Dharma Sanggia
Yanamah swaha.

Om Padmasana yanamah swaha.
Om Prasadha stithi sarira ciwasuci nirmala yanamah swaha.

Om Ang Namah.
Om Ung Namah.
Om Mang Namah.

Om Rahpat astra yanamah swaha.
Om Sudamam swaha.
Om Hati sudhamam swaha.

Om Ang Brahma Amertha dipha yanamah swaha.
Om Ung Wisnu Amertha dipha yanamah swaha.
Om Mang Iswara Amertha dipha yanamah swaha.

Om Puspadantha yanamah swaha.

Om Nama Ciwaya.
Om Nama Bhudaya.
Nugrahi mami sucinirmala sarwa sastra suksma sidhi.
Om Saraswathi Paramasidhi ya namah swaha.
Om Sarwa karya sudha nirmala yanamah swaha.
Om Ciwa, Sadha Ciwa, Parama Ciwa, Parama Bhuda Dharma Sanggya
Ya namah swaha.

Om Ang Ung Mang,
Ciwa,Sada Ciwa, Parama Ciwa,
Bayu sabda idep
Sudiatha nirwigena yanamah swaha.
Om Sidhiastu yanamah swaha.
Om Sah woshat prayoga yanamah swaha.
Om Ang Ung Ang Mang Ung Mang Ang Ah .

Om Kalase Gumelar yanamah swaha.
Om Simoh yanamah swaha.
Om Ening puspa dewi utama,
Parama ening dewaning puspa
Sidhirastu yanamah swaha.
Om Ang Brahma amertha dipha yanamah swaha.
Om Ung Wisnu Amertha dipha yanamah swaha.
Om Mang Iswara Amertha dipha yanamah swaha.

Om Grim whosat kesama sampurna yanamah swaha.

Om Dewa Pratista yanamah swaha.
Om Angkang Khasolkaya swasthi swasthi ,
Sarwa Dewa Bhuta Bhokta yanamah swaha.

Om Gangga Dewi Maha punyam,
Gangga Salancamedini,
Gangga teranggana samyuktam,
Gangga Dewi namah swaha.

Om Sri Gangga Maha Dewi,
Anuksma Amertha jiwani,
Ongkara aksara jiwatam,
Padda Amertha manoharam,

Om Utpeti Kasuranca,
Utpeti Kathawa gorasca,
Utpethi sarwa hitanca,
Utpethi sri wahinam yanama swaha.

Om Bhur Bhuah Swah ,
Maha Gangga wetirtha pawitram yanamah swaha.

Om Idham bhasma parama guhyam,
Pawitram  papanasanam,
Sarwa papa klesa winasanam,
Sarwa rogha winasa yanamah swaha.
Om kung kumara bija ya namah swaha.

Om Bang Bama Dewa guhya namah.
Om Bhur Bhuah Swah amertha ya namah.

Om Ing Isana Ya namah ( Sirah )
Om Tang Tatpurusa ya namah. ( Lelata )
Om Ang Aghora ya namah.( Tangkah )
Om Bang Bama Dewa ya namah.( Bahu/Karna tengen)
Om Sang Sadya ya namah ( Bahu/karma kiwa )

Om Hrang Hring Sah Parama Ciwa Raditya yanamah swaha.
Om Hrang Hring Sah Parama Ciwa Amerta ya namah.

Om Kara Sadha Ciwastam,
Jagat Natha Hitangkarah,
Abhiwada Wadhaniyem,
Gentha Sabdha prakasyatah,

Om Gentha Sabdha Mahasretah,
Ongkara Parikirtitah,
Candra Nadha Bindhu Drestam,
Sapulingga Ciwa tatwamce.

Om Genthayur pujiathe dewah,
Abhawa bawa karmesu,
Waradha labdha sandenam,
Wara sidhi nihsamsayam.

Om…Om…Om… ( Kleneng )
Ang…Ung…Mang…( Kleneng)
Ang..Kang Kasolkaya Iswara yanamah swaha.(Kleneng).

Om, Rung Rahphat astra Yanamah swaha.
Om Atma Tatwa atma sudhamam swaha.
Om Ksame Sampurna yanamah swaha.
Om Sri pasupataya Ung phat yanamah swaha.
Om sriam Bhawantu, Sukham bawantu, Purnam bawantu Yanamahswaha.

Om ksame swamem Maha Dewah,
Sarwa prani hitang karah
Mamoca sarwa papabyah,
Palaya Ciwa Sadha Ciwa.

Om ksanthawiya kayika dosah,
Ksanthawiyah wacika mama,
Kasantawiya manasa dosah ,
Tratpremadat kesameswamem,

Om Hinam saram ,hinam padham,
Hinam mantram tathahiwaca,
Hinam bhakti hinam werdhi,
Sadha Ciwa namostute,
Om Mantram hinam,kriya hinam,
Bhaktim hinam maheswarah,
Yatpujitham mahadewah,
Paripurna tadastu.
Om Ksamesampurnaya namah swaha.



Om Anugraha manhoharam
Dewadatha nugrahakem
Hyarcanam sarwa pujanam
Namasarwa nugrahakem

Om Dewa Dewi mahasidhi,
Yadnye nirmalatmakam,
Laksmi sidhisca dirghahayur
Nirwighna sukha werdisca.
Om Sdhirastu yanamah swaha.


Om Apsudewa pawitranam,
Gangga Dewi namaswaha,
Sarwa klesa winasanam
Toyana parisudhiyathe,

Om Sarwa rogha winasanam,
Sarwa papa winasanam,
Sarwa dhosa winasanem,
Sarwa Bogha Mewapunyat.

Om Panca aksaram maha tirtam,
Pawitram papa nasanam,
Papa khoti sahasranam,
Agadham bawet sagaram,

Om Panca aksaram parama Brahman,
Pawitram papa nasanam,
Mantramtam parama jnanam,
Ciwa logham pratistanam,

Om Akaras ca, U karas ca,
Ma-karo windhu nada kam,
Panca aksara maya proktam,
Ongkara agni mantrake.

Om Gangga yanamah,
Om Saraswathi yanamah,
Om Sindhu wai namah.
Om Am wipacaye namah,
Om Am Kusikya namah,
Om Am Yamunha namah,
Om Am Sarayu wai namah swaha.

Om Gangga Muncar maring purwa,tingalana telaga noja
Jambanganire selaka tinanceban tunjung petak ,
Padyusan Bhatara I Swara angilangakena papa klesa moksah ilang.
Om Gangga muncar maring daksina, tingalana telaga noja
Jambanganira tembaga, tinanceban tunjung rakta,
Padyusan Bhatara Brahma angilangakena sarwa wigena moksah ilang.
Om Gangga muncar maring pascima, tingalana telaga noja,
Jambanganira emas, tnanceban tunjung jenar,
Padyusan Bhatara Mahadewa, angilangakena sarwa patake moksah ilang.
Om Gangga muncar maring utara tingelana telaga noja,
Jambanganira wesi, tinanceban tunjung ireng,
Padyusan Bhatara Wisnu, angilangakena sarwa satru moksah ilang.
Om Gangga muncar maring madya,tingalana telaga noja,
Jambanganira panca datu, tinanceban tunjung manca warna,
Padyusan Bhatara Ciwa ,angilangakena, dasa mala moksah ilang.
Om Sidhirastu yanamah swaha, Om Ksame sampurna yanamah swaha.
Uder toye ping tiga :
Om Bhur Bwah Swah Maha Gangga Wetirta pawitram ya namah swaha.

Ketisang ring awang-awang.
Om atma tatwatma sudhamam swaha.
Om Ksame sampurnaya namah swaha.
Om Sripasupataye Hung phat ya namah swaha. ( raris ketisang ring bantene )

Om Om Padmasana yanamah,
Om Om Anantasana ya namah.
Om Dewe dewi pratista yanamah swaha.

Om Adityasia param jiotir
Rakta teja namo stute,
Sweta pangkaja madiastem,
Bhaskara ya namostute.
Om prenamya Bhaskaram dewam,
Sarwa klesa winasanam,
Om prenamya Aditya ciwartam,
Bukti mukti wara pradam.
O Hrang Hring Sah Parama Ciwaraditya Yanamah waha.

Om Indra giri murthi dewam,
Loka natha jagat pati,
Murti wiryam Ludra murthi.
Sarwa jagat pawitranam.
Om Indra Giri murti lokam,
Ciwa murthi prajapathi.
Brahma Wisnu Iswaram,
Sarwa jagat prawaksyanam.

Om Ciwa, Sadha Ciwa, Parama Ciwa,
Pakulun Paduka Bhatara Bagus Sakthi,
Pamongmong Paduka Bhatara Anguntap anurun Padhuka Bhatara,
Pahenakke Paduka Bhatara tumedun malinggih ring palinggihan Paduka Bhatara ring Pahryangan Pura Penatran Kebon Agung,
Kajenenganne Paduka Bhatara anodya anyaksini muang amukti saturan manusan nira minakadi sembah subakti pedekan paduka Bhatara angaturaken sarin canang pejatian rauhing runtutannie,
Menawita wenten kirang wenten luput ledang Paduka Bhatara ngampurayang,
Akedik aturannie ageng pamilakunnie,
Amilaku kerahayuan, kerahajengan paripurnaning awak sarire,
Tan kirang pangan kinum miwah ketreptian jagat,
Om ayuwerdhi, yasa werdhi, werdhi pradnya suka sriem,
Dharma Santana awerdisca, santute saptha werdiah,
Om Sidhirastu ya namah swaha,
Om ksama sampurna yanamah swaha,
Om Dewa pratista yanamah swaha,
Om Hrang Hring sah Parama Ciwa Aditya yanamah swaha.


Om Saraswathi ta sanggwa bhyonamah swaha,
Om jreng-jreng murthi bhyonamah swaha.,
rik kacarukke mrtangga sri-sri bhyo namah swaha,

Om Ang argha dwaja yanamah swaha,
Om Pang padya arga yanamah swaha,
Om Cam camania yanamah swaha,
Om grim ksame sampurna yanamah swaha,
Om jeng jihwa suci nirmala yanamah swaha.
Om Ngawang-Ngawang.
Om Nguwung-Nguwung.
Tutug tekaning akasa.
Betel tekaning Pretiwi.
Om Pataya, Om Pat.

Om Toyam Gandam Ksatam,Puspam palam.
Om Ragnir Ragnir,
Om Jyitir Jyiotir,Dupam Dupam,
Samar payam inamah Swaha.

Om Parama Ciwa Twam Guhyam,
Ciwa tatwa paroyanah,
Ciwasiya pranatho nityam,
Candisca yanamo stute,

Om niwedhya Brahma Wisnuca,
Sarwa boktra Maheswaram,
Sarwa bhakti nala bhaktyam,
Sarwa karya prasiddhantam,

Om Jayarti jaya mapnuyat,
Yasarti yasa mapnoti,
Sidhi sakala ma penuyat,
Parama ciwa yalabhatyam, Om Nama Ciwaya namah swaha

Om Dewa mukti maha sukham,
Bhojana paramaarta.
Dewa bhaksa maha sukham,
Bhaksa laksana karana,
Om Hyang angadakaken sari,
Hyang angaturaken sari,
Hyang amuktianing sarining pawitram,

Om Bhuktianthu sarwa Dewa,
Bhuktiantu Triloka natha,
Sagenah sapariwarah,
Swargha sada sidhisca,

Om Sang Bhuta kala Ancangan Paduka Bhatara,
Manusanira angatur aken saji labaan,
Durus tadah saji iki,
Wus kita amangan anginum,
Pamantuka takita,
Ayua takita amilara, angrubeda,angoda sang madue yadnya,

Om Dhurga bhucari,
Om Bhuta bhucari,
Om Kala bhucari,
Bhuktianthu Durgha katara,
Bhuktianthu Bhuta bhutanam,
Bhuktiantu Kala maweca,
Om phat astra yanamah.

Ngraris ngemargiang Kramaning Sembah.
  1. Sembah Puyung.
  2. Sembah Kesurya,
  3. Sembah ring Ida Bhatara sane malinggih ring genahe nganteb.
  4. Sembah ring Bhatra Samodhaye,
  5. Sembah puyung.
Om Eka wara,Dwi wara,Tri wara, Catur wara, Panca wara,
Purwa pras prasidha rahayu.

Om Parama Sunya sangkan ira, Sunya paran ira,
Sarwa Dewa Somya yanamah swaha,
Om Dewa suksema ya namah swaha.
Om Sriyam bawanthu, Sukham bawanthu,Purnam bawanthu,
Om Suksma sunya lebhar yanamah.

Om Om Om ( Tek ning )
Ang Ung  Mang ( Tek ning )
Om Ang kasolkaya Iswara yanamah.
Om Sriam Bawanthu, Sukham Bawanthu, Purnam Bhawanthu.
Om Shanthi, Shanthi, Santhi Om.


II. MANTRA NGEMARGIANG PECARUAN.

1


2
















3.











4.









5.













6.














7.
































8.











9.











10.






11.





12.








13.



14.






15.

Mersihin Angga sarira antuk tetikas ring ajeng.

Ngaturang Pareresikan.
Niwakang Tirta Pebersihan/Tirta Grie.
Niwakang Tirta Panglukatan.
Ngeraris ngerik kramasin pecaruan.
Surya Stawa









Prathiwi Stawa.











Caru Stawa.( Serana menyebarkan beras kuning lan sekar ring carune).







Bhutha Kala Stawa.













Pujian ring Butha.














Pakeling ring Bhuta,
( Caru Manca Sato)































Ngayab Caru.











Ngundur Bhuta.







JENIS-JENIS MANTRA PECARUAN / KE BHUTA.

Jangan Sekuwali






Gelar Sanga.





Segeh Agung.








Segeh Penyahcah.



Mantra Ulap Ambe.






Mantra Sambutan.
Pateh kadi pengastawa ring Dewa.









Om Adityasia param jiotir
Rakta teja namo stute,
Sweta pangkaja madiastem,
Bhaskara ya namostute.
Om prenamya Bhaskaram dewam,
Sarwa klesa winasanam,
Om prenamya Aditya ciwartam,
Bukti mukti wara pradam.
O Hrang Hring Sah Parama Ciwaraditya Yanamah waha.

Om Prathiwi sariram dewam,
Catur Dewi Maha Dewi,
Catur Asrama Bhatari,
Ciwam Bhumi Maha sidyam.
Om Dewi Ripurwani Bhasundari,
Ciwa patni putra yoni,
Uma Durga Gangga Ghori,
Indrani Camundi Dewi,
Om Bhrahma Bhatari Wisnuwe,
Sangkomari Gayatri Dewi ,
Om Sri Dewi ya namah.

Om Tang Ang Ing Sang Bang Utat ya namah.,
Om Gmung Gana patya namah,
Om Bang Rajaastra ya namah,
Om Phat phat ,
Om Surabala ya namah.
Om Cikra Bala ya namah.
Om Mang Iswara ya namah.
Om Sang,Bang,Tang,Ang,Ing,
Sarwa Bhuta byonamah.

Om Krura raksasa rupanca,
Baibhatsyam yo caya punah.
Somya rupam awapnopati,
Twam wande waradam amum.
Om  Sweta Maheswara rupam,
Brahma Bangkala warnasya,
Pitha Mahadewa Kala,
Wisnu Kresna warna Kala,
Ciwa panca warna kala,
Durga Bhuta warnasya,
Tumwuana kara ta hityam.
Panca ma kala warna sya.
Om Bhuta kala pratistha ya namah swaha.

Om Sukhatam Kala pujitam,
Kala Sukha proyojanam,
Sanayam kala pujitam,
Shada Ciwa maha kretam.

Om Pujitam kala sukhatam,
Kala Kali kaprojnanam,
Sarwa kala sukha nityam,
Sarwa Wigenha winasanam,

Om Dhurga Dewi Masariram,
Kala Kingkara moksatam,
Kala mertyu punah citram,
Sarwa wigenha winasanam.

Om Indah ta kita Sang Bhuta Petak,
Ring purwa ungguwannie,
Bhatara Iswara Dewatanie,

Om Sang Bhuta Bang,
Ring Daksina Ungguannie,
Bhatara Brahma Dewatanie,

Om Sang Bhuta Jenar,
Ring Pascima Ungguanie,
Bhatara Mahadewa Dewatanie,

Om Sang Bhuta Ireng,
Rng Utara Ungguanie,
Bhatara Wisnu Dewatanie,

Om Sang Bhuta Tiga Sakti,
Ring madya Ungguanie,
Bhatara Ciwa Dewatanie,
Kliwon Pancawaranie,
Tumedun pwa sira kalawan sanak wadwan nira sedaya.
Iki tadah sajin nira,
Manusan nira angaturaken
Tadah Caru Panca Sato winolah winangun urip,
Katekeng saruntutannie,
Ajak wadwan balanie sadaya ,
Pada amukti sari saturan manusannira,
Wus ta kita amangan anginum,
Pamantuka takita maring ungguanie sowing-sowang.
Ayua ta kita amilara,angoda,anyenkala manusannira.
Om Poma poma poma,
Om Sidirastu ya namah swaha.

Om Bhuktiantu Durga katarah,
Bhuktiantu Kala Maweca,
Bhuktiantu Bhuta Bhutanam,
Bhuktiantu Kala Sanggyam.
Om Durga Lokha namah,
Kala Lokha Bhoktya namah,
Bhuta Lokha Bhoktya namah swaha,

Om Ang Kang Kasolkaya swasthi-swasthi,
Sarwa Bhuta Kala Predana purusha
Bhoktya namah swaha.

Om Kaki persit ,Nini Persit,
Kaki Rabyah Nini Rabyah,
Undurakena Bhutanta dening doh,
Apan gurunmu hana ring kene,
Sanghiang Sangkara pinaka guruning sarwa bhuta,
Om Sangkara bhuta ya namah swaha






Pakulun Sang Kala sakti, Sang Kala Bhumi, Sang kala Wisesa, Sang kala Enjer-Enjer, Sang Kala Kalika, Sang kala Ngumik, Iki Tadah Sajin Nira,
Jangan Sekuwali , Iwaknia Balung Gagending, Segeh Sewakul, Sajeng Sakerincing,Kinucupan  Antinganing Suwung anyar , Yan Sira wus amukti, Pada mulih sira ring catus Pata.

Pakulun sang Yama raja , Iki Tadah sajin nira, Jangan Sakuwali,Muang Gelar sanga, Sajeng saguci, Tan sinarengan Tumurun, Sanghiang Yama Raja Pada suka ya namah.
Om Ang Durga loka bhiyo namah, Om,Ang Kala Loka Bhiyanamah,Om Bhuta loka ya namah.

OM, Kaki Sang Kala Bhuta Dengen ,Sang Kala Preta,Kiangga Pati,Meraja Pati, Banas Pati, Banas Pati raja, sang Kala Tiga sakti, Metu sira saking arep , saking uri, Saking kiwa, saking Tengen, saking tengah, Yan sira lunga Angalah alah desa, Amarah-marah desa, Yan sira mulih maring dangkahyangan nira,Aja sira silah gawe, Eling akene, Ungguan ta sira,Poma,poma,poma.
Iki tadah sajin sajin nira , Banyu maha merta, Om Paripurna ya namah, Om sidirastu ya namah swaha.

Om Kaki Sang Kala Bhuta Dengen, Nini Hyang-Hyang Bhatari Durga.
Om Bhuta Bhucari, Durga bhucari,Kala Bhucari, Iki Tadah Sajinnira,Om Sampurna yanamah swaha.

Om Sanghiang Sapta Patala, Sanghiang Sapta Dewata, Sira Sanghiang Besrawana, Sira Sanghiang Tri Nadi Panca Kosika, Sanghiang Premana, mekadi Sanghiang Urip, Sira amagehaken ristananira soang-soang, pakenaning hulun, hangaweruhi ri sira handa raksanen den rahayu, hande
Urip waras dirgayusa paripurna sang inambean.
Om. Shidirastu yanamah swaha.

Yan lunga mangetana, mangidul, mangalor, muang mangulon.
Bayu premana muah atmanie  ( wasta sane ke ulapin ), tinuntunan dening Prawatek Dewata Nawa sanga, Pinahayuan kala cakra, pinageran wesi, tuntun ulih akena maring awak sariran nira ( wasta sane kaulapin )
Om Sang , Bang, Tang, Ang ,Ing Na, Ma, Si, Wa, Ya.




 NGATURANG PASUCIAN.
Serauh ring Pasucian / Segara : Mantra:
Om Gangga Dewi Maha punyam,
Gangga Salancamedini,
Gangga teranggana samyuktam,
Gangga Dewi namah swaha.

Om Sri Gangga Maha Dewi,
Anuksma Amertha jiwani,
Ongkara aksara jiwatam,
Padda Amertha manoharam,

Om Utpeti Kasuranca,
Utpeti Kathawa gorasca,
Utpethi sarwa hitanca,
Utpethi sri wahinam yanama swaha.

Om Bhur Bhuah Swah ,
Maha Gangga wetirtha pawitram yanamah swaha.

Raris Ngambil toya Pasucian/ Toya segara.
Mantra : Om Tirtayam Tirta pawitram
Gangga Ranu Toya Bhanam
Sudha Dewa masariram
Sarwa klesa WINUSANAM.

Ngetisang Tirta Ring Pratima/Adegan Ida Bhatara.
Mantra Sapta Gangga : Ping Pitu ngetisang.
Om Gangga yanamah swaha.
Om Saraswati yanamah.
Om Sindu watinca yanamah.
Om Ang Wipasa ya namah.
Om Ang Sarayu yanamah.
Om Ang Korsika yanamah.
Om Godawari Yan amah.

Ngaturin Batara  Mahiyas.
OM HYASTU DEWA MAHA PUNYAM.
HYASTU DEWAN CA.
HYASTU SARWA TO DEWA DEWANAM.
HYASTU DEWA MAHA PUNYAM YA NAMAH.
Ngaturang Tigasan.
Om Tigastu Dewa Maha Punyam.
Tigastu Dewanca.
Tigastu sarwa ta dewanam
TIgastu Dewa hastutyam ya namah.

NGATURANG PUSPA /SEKAR. :
OM PUSPANTU DEWA ASTUTYAM.
PUSPANTU DEWAN CA.
PUSPANTU SARWA TO DEWA DEWANAM.
PUSPANTU DEWA MAHA PUNYAM YA NAMAH.
Ngaturang Tirta :
Om Tirtantu Dewa maha Punyam.
Tirtantu Dewanca.
Tirtantu Sarwa Ta Dewanam.
Tirtantu Dewa Hastutyam ya namah.
Om Om Tirtayam Sudha lara,
sudha klesa, sudha paripurna yanamah.

Ring Mendake sarauh saking masucian ring jaban pura.
 Ngemargiang Pareresikan.
Maketis.
Mantra : Om sanghiang Jati pegat pegat.
Rampung sari-sarining wisesa.
Tepung tawar amunahaken.
Segawu angeluaraken sebel kandel lara roga wigena papa klesa.
Pegat hilang norana  keni
Om Sidirastu yanamah swaha.

Mantra Nyapaang Pasegehan;
 OM,  Sang Bhuta Kala Dengen ,Sang Kala Mertyu,Kiangga Pati,Meraja
Pati, Banas Pati, Banas Pati raja, sang Kala Tiga sakti, Metu sira
saking arep , saking uri,
Saking kiwa, saking Tengen, saking tengah,
Yan sira lunga Angala ala desa,
 Amara-mara desa,
Yan sira
mulih maring dangkahyangan nira,
Aja sira salah gawe, Eling akene,
Ungguan ta sira,Poma,poma,poma.
Iki tadah sajin sajin nira ,
Banyu maha merta, Om Paripurna ya
namah, Om sidirastu ya namah swaha.

Mantra ngaturang Ajengan kambangan.
Om Sanghiyang mraja, Sanghiang pasupati,
Sang Sad, sang Wil, Sang kala Harung,
Sang kala Hawu, Sang kala Gadug basur ,
Sang kala Hulu singa iki tadah sajinira,
poma,poma,poma.
Raris ngaturin Ida batara mamargi.




DAFTAR PUSTAKA.

                Ir. Putu Januar Ardhana,Sukretaning,Agem-Ageman Jero Mangku, 2003.

                Drs. IGK.Adia Wiratmaja, NITYA KARMA PUJA.2002.

                Ida Pandita Mpu Jaya Wijaya Nandha, AGEM-AGEMAN KEPEMANGKUAN.2003

                I Made Bidja, MANGGALA UPACARA, 1990.

                Dinas Agama Otonum Daerah Bali, GEGELARAN PEMANGKU,1958.

                I Made Gambar, SANGKUL PUTIH KESUMA DEWA,1987.

                Drs. I Ketut Pasek Swastika, TUNTUNAN PENGASTAWA,2006.

                Drs. I Nyoman Singgih Wikarman, PARAMITA.CARU, 1998.

                Drs.Gede Sara Sastra,M.Si.PEDOMAN CALON PANDITA DAN DHARMANING
                SULINGGIH ( WIKU SESANA) PARAMITA, 2005.















                                                                                                                   Kebon , 13 Juni 2008
                                                                                                                   Kapipil Olih:



                                                                                                                    Jero Mangku Pica.