TRI HITA KARANA
Oleh. JM.PICA.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Filosofis hidup yang disebut Tri Hita Karana itu bukan hanya ada di Bali saja. Di tingkat Nasionalpun filosofis itu menjadi
landasan pembangunan bangsa Indonesia.
Demikian juga di tingkat Internasional atau global hal ini juga ada, cuma tidak
bernama Tri Hita Karana, namanya konsep hidup seimbang. Oleh karena itu umat
Hindu di Bali jangan sampai bersifat arogan karena mempunyai istilah Tri Hita
Karana. Lebih baik wujudkan falsafah hidup itu lebih nyata dari pada kita bersombong
ria yang kosong. Kita bisa terjebak melamun bernostalgia pada keindahan masa
lalu. Padahal dihadapan kita banyak persoalan-persoalan pelik yang sedang
menghadang kita. Falsafah hidup berdasarkan hidup Tri Hita Karana ini memang sudah diajarkan dalam
kitab suci Bhagawad Gita III, 10. Meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama
Tri Hita Karana tetapi dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah
beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena itu manusia
(Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia
(Praja) dan kepada alam lingkungan (Kamadhuk). Oleh karena itu Tri Hita Karana
bukanlah sekedar konsef tata ruang.
Untuk menilai bahwa Tri Hita Karana sudah terwujud dengan baik dalam
masyarakat perlu ditentukan terlebih dahulu tolak ukur yang dijadikan dasar
acuan untuk menilainya. Misalnya menilai hubungan manusia dengan Tuhan,
Dapatkah hubungan manusia dengan Tuhan dinilai sudah sukses karena banyaknya
Pura yang dibangun dan direnovasi. atau diukur dari banyaknya rakyat
mengeluarkan duit untuk kepentingan upacara Agama. Konon di Bali setiap tahun
umat Hindu menghabiskan tiga setengah triliyun rupiah lebih untuk kepentingan
upacara Agama. Mungkin dari segi ekonomi bagus karena banyaknya uang yang beredar
di masyarakat bawah. Namun dari segi pembenahan moral dan mental perlu kita
telusuri. Sudahkah nilai-nilai Agama yang dikandung oleh upacara Agama itu
teraplikasi dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial. Bahkan nampaknya
masih banyak umat Hindu tidak mengerti apa makna suatu Upacara Agama
dilangsungkan. Pura yang banyak itu sudahkah digunakan dengan tepat untuk
membina umat. Kalau pura hanya digunkan saat odalan atau upacara agama pada
suatu saat belumlah patut kita berbangga ria. Karena fungsi pura bukan hanya
untuk upacara semata . Pura umumnya memiliki Jaba sisi, Jaba tengah dan Jeroan
Pura. Hal ini belum difungsikan secara benar, bahkan jaba sisi lebih banyak
digunakan untuk menggelar judian dalam bentuk sabungan ayam, dan bentuk-bentuk
judian lainnya. Sudahkah sebagaian besar umat melakukan hubungan dengan Tuhan
sesuai dengan petunjuk ajaran Agama Hindu yang dianutnya, seperti Trisandya,
Sembahyang Purnam-Tilem dan lain sebagainya. Meskipun mengukur hubungan antara
manusia dengan Tuhan tidak bisa diukur dari hubungan formal seperti itu saja. Ada banyak cara yang
dibenarkan oleh kitab suci untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan di luar
yang formal seperti itu. Dalam satu persoalan saja hubungan manusia dengan
Tuhan kita akan banyak sekali menemukan realita yang masih jauh dari idialisme
Tri Hita Karana. Oleh karena itu belumlah waktunya kita berbangga-bangga. Orang
yang mudah berbangga-bangga itu cepat puas diri dan ujung-ujungnya sering
menjadi sombong. Dari berpuas diri dan sombong kita bisa lengah dan lemah
menghadapi berbagai persoalan yang masih membentang di hadapan kita. Kelengahan
dan kelemahan ini merupakan awal dari suatu kegagalan. Karena itu bangga yang
berlebihan (dambhah) dan sombong (darpah) tergolong sifat-sifat Asura menurut
Bhagawad Gita XVL. 4. Membanggakan diri yang berlebihan dapat menimbulkan sikap
untuk menganggap rendah fihak lain. Menganggap orang lain lebih rendah dengan
diri merupakan suatu bibit permusuhan yang tersembunyi. Menurut ajaran Rwa
Bineda semua ciptaan Tuhan di kolong langit ini memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Bentuk kelebihan dan kekurangan ini berbeda-beda.
Setiap kita merasa memiliki kelebihan hendaknya juga kita serius meneliti
kekurangan kita. Dengan demikian kita akan dapat mencegah timbulnya sikap
takabur. Karena sikap takabur seperti itu kita bisa mandeg untuk mengembangkan
proses perbaikan diri karena sudah menganggap diri berhasil. Oleh karena itu
janganlah dulu berbangga ria tentang penerapan Tri Hita Karana di Bali, karena
masih banyak bolong-bolongnya, marilah kita kerja terpadu untuk menutup
bolong-bolong tersebut.
1.2. Rumusan
Masalah
- Apakah difinisi dari pada Tri Hita Karana ?
- Bagaimana proses penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan kita ?
- Makna apa yang diperoleh dari adanya TRI Hita Karana ?
1.3. Tujuan
Permasalahan
- Mengetahui dipinisi dari Tri Hita Karana
- Mengetahui proses penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan kita
- Mengetahui makna yang diperoleh dari adanya Tri Hita Karana
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. . Tri Hita Karana bila dikaji dari
segi Ontologi.
Bila dikaji dari segi Ontologi Tri
Hita Karana itu sendiri adalah pengkajian lebih menitik beratkan pada kajian
aspek difinisi itu sendiri, artinya difinisi dari Tri Hita Karana. Tri Hita Karana
berasal dari kata Tri, Hita dan Karana. Tri artinya tiga, Hita artinya Bahagia
sedangkan Karana artinya penyebab. Maka
Tri Hita Karana adalah tiga penyebab dari suatu kebahagian.
Adapula yang mengatakan bahwa Tri
Hita Karana adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan
mengabdi sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan.
Dalam kitab Purana juga dikatakan
bahwa Tri Hita Karana adalah suatu keharmonisan antara hubungan manusia dengan
Tuhan berdasrkan Sradha dan Bhakti. Hubungan antara sesama manusia berdasarkan
saling pengabdian (Sevanam) dan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan
berdasarkan kasih sayang.
Konsep Tri Hita Karana adalah suatu
konsep yang menyangkut konsep kebersihan sekala (fisik) dan konsep kesucian
niskala (batin spiritual). Konsep ini juga memberikan jaminan adanya
keselarasan antar konsep pikiran (mancika) konsep perkataan (wacika) dan konsep perbuatan (kayika) yang lebih
dikenal dengan konsep Tri Kaya Parisuda. Konsep Tri Hita Karana telah menjadi
konsep idial dalam menata kehidupan desa pakraman yang dahulu disebut desa adat
2.2. Tri Hita Karana dikaji dari segi
Efistimologi.
Pengkajian dari segi Efistimologi
lebih menekankan kepada aspek Proses pelaksanaan dar Tri Hita Karana itu sendiri.
Sebelum ke proses pelaksanaan dalam kehidupan alangkah baiknya kita ungkap
sekelumit sejarah Tri Hita Karana yaitu mengenai konsep hidup idial seperti ini
diterapkan pada abad ke sebelas untuk menata kehidupan umat Hindu di Bali. Pada
abad tersebut Mpu Kuturan mendampingi Raja menata kehidupan umat Hindu di Bali.
Dalam Lontar Mpu Kuturan disebutkan Mpu Kuturanlah yang menganjurkan kepada
raja untuk menata kehidupan di Bali. “ Manut Linging Sang Hyang Aji “ artinya
menata kehidupan berdasrkan ajaran kitab suci Weda. Di setiap Desa Pakraman
dibangun Khayangan Tiga untuk Sang Catur Warna.. Jadinya Desa Pakraman inilah wadah
Sang Catur Asrama dan Catur Warna untuk mewujudkan tujuan hidup mencapai Catur
Warga yaitu Dharma, Artha , Kama dan Moksa. Di
dalam Desa Pakraman inilah diciptakan suatu tatanan untuk mengembangkan Sradha
dan Bhakti pada Tuhan dan pada Dewa Pitara saling mengabdi pada sesama dalam
wujud Pasuka-dukan di Desa Pakraman serta mengembangkan cinta kasih pada sarwa
prani. Pengembangan cinta kasih pada alam lingkungan diajarkan dalam kitab
Sarasamuscaya 135 dengan istilah phihan
tikang Bhutahita. Artinya usahakanlah kesejahtraan semua mahluk itu akan
menjamin tegaknya Catur Warga atau empat
tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya. Dari istilah Bhuta Hita inilah
timbul tindalkan Bhuta Yadnya artinya beryadnya kepada semua mahluk ciptaan
Tuhan. Kehidupan rakyat pada lampau masih sangat tergantung pada pada budaya
agraris tentunya pengamalan ajaran Tri Hita Karana dalam nuansa agraris telah
berhasil mengembangkan hasil budaya agraris yang adi luhung. Budaya yang
dihasilkan oleh pengamalan Tri hita Karana pada masa agraris itulah yang
menyebabkan Bali menjadi pulau Hindu yang
sangat terkenal sampai menembus ke dunia internasional.
Proses Penerapan Tri Hita Karana
dilakukan dengan tiga jalan yaitu:
1. Hubungan Manusia dengan Tuhan ( Parhyangan
)
Hubungan timbal balik antara manusia
dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam lingkungan
bukan merupakan hal yang terpisah-pisah. Tiga hubungan tersebut harus menyatu
dan terpadu membentuk sikap hidup dalam konsep Tri Hita Karana. Kalau ia sudah
menjadi sikap hidup yang integral dalam diri barulah Tri Hita Karana itu
menampakan hasil memberikan kebahagian pada manusia. Makna hubungan antara
manusia dengan Tuhan harus mengejawantah pada hubungan antara manusia dengan
manusia dan manusia dengan alam lingkungan. Dari meningkatnya kwalitas hubungan
antara manusia dengan Tuhan itulah yang menjadi penyebab meningkatnya hubungan
yang lain. Hubungan antara manusia dengan Tuhan dala Tri Hita Karana tidak
hanya untuk mempertemukan Atman dengan Brahman untuk mencapai Moksa. Memuja
Tuhan bukan untuk melupakan kehidupan duniawi. Memuja Tuhan justru untuk
mendatangkan kekuatan suci untuk menata kehidupan di dunia agar kehidupan di
dunia menjadi semakin berkualitas. Sraddha dan Bhakti umat pada Tuhan harus
mampu didaya gunakan untuk dijadikan landasan spiritual menuntun manusia di
dunia ini menuju kehidupan yang bahgia. Meningkatnya Sraddha dan Bhakti pada
Tuhan dimasa lampau berbeda dengan memuja Tuhan pada jaman moderen dewasa ini.
Pada jaman dahulu kehidupan masih sangat kental budaya agraris persoalan hidup
yang dihadapi oleh manusia sangat berbeda dengan persolan hidup pada masa
industri sekarang. Hal ini timbul karena adanya perubahan hidup kebutuhan hidup
manusia. Dalam masyarakat agraris kebutuhan hidup manusia sangat sederhana,
baik yang menyangkut kebutuhan hidup yang bersifat biologis, sosiologis maupun
kebutuhan filosofis.
Pada jaman moderen hubungan antara
manusia dengan manusia semakin dinamis dan multi dimensi. Hal ini terjadi
karena semakin majunya teknologi transportasi dan teknologi komunikasi.
Kemajuan itu membutuhkan adanya peningkatan kwalitas moral dan daya tahan mental untuk
mempertahankan identitas diri . Tanpa kekuatan moral dan mental yang semakin
tinggi manusia akan kehilangan kesempatan mendapatkan kehidupan yang bahagia.
Bukti nyata adanya penerapan konsep
Parhyangan di Bali umumnya dan di Karangasem khusunya adalah adanya kesadaran
dan tuntunan batiniah terhadap kehadiran kahyangan pada setiap desa pakraman.
Konsep kahyangan berfungsi sebagai sesuatu yang disakralkan baik dalam wujud
sebagai sanggah, pemerajaan paibon dan kahyangan desa. Pola penempatan kahyangan
ditentukan berdasarkan tata arsitektur tradisional tersendiri yang dalam
kenyataanya berorientasi pada konsep tempat
“ hulu- teben”. Selain itu
juga konsep arah kaja-kangin sebagai
arah hulu (luan) sedangkan kelod-kauh
merupakan arah teben. Dalam kehidupan sehari-hari konsep ini nampak jelas
pelaksanaannya dalam masyarakat kesemuamya bertujuan untuk mewujudkan
keharmonisan keseimbangan dalam kehidupan mayarakat.
Disamping yang disebutkan di atas di
setiap ruamgan rumah juga ada pelangkiran, disetiap keparangan rumah pada
bagian uranusnya keluwan) ada merajaan Kemulan. Disetiap banjar ada tempat
pemujaan. Di Bali banyak sekali umat punya wantilan , balai banjar, pura dengan
jaba sisi, jaba tengah dan jeroan pura. Semua ini dapat difunsikan lebih
intensif lagi untuk mengembangkan pemujaan pada Tuhan yang lebih spiritual.
2. Hubungan Manusia dengan Manusia
(Pawongan)
Hubungan antara manusia dengan
manusia haruslah saling beryadnya dalam pengamalan Tri Hita Karana. Hubungan
saling beryadnya itu dalam kesetaraan yang adil. Setiap swadarma yang dimiliki
oleh setiap orang dijadikan peluang untuk beryadnya pada orang lain. Kalau
masih antar sesama bahkan antar kelompok tidak ada sikap saling beryadnya maka
apa yang dikumandangkan sebagai Tri Hita Karana belum dapat kita katakana
berjalan berjalan dengan baik.
Sebagai ilustrasi bagaimana kita
bisa menyebut hubungan antar sesama berjalan harmonis kalau masih ada warga
yang arogan mengkelaim diri paling punya martabat. Ada suatu warga adat mengambil keputusan adat
yang bertentangan dengan kebenaran agama. Seperti menghukum anggota krama adat
yang dianggap bersalah dengan hukuman yang sangat tidak adil dan tidak
manusiawi seperti ada warga kasepekang gara-gara menggantung kursi plastik di
dekat padmasana yang terjadi di Tabanan baru-baru ini. Sehingga mengakibatkan
dikenai denda sebanyak 200 juta. Adat yang demikian ini jelas adat yang tidak
bermartabat.
Untuk itu kesadaran terhadap
pelaksanaan kewajiban dari setiap anggota masyrakat/kerama sangat perlu
diupayakan. Guna merealisasikan upaya itu maka setiap desa pakraman secara
otomatis berhak dan berkewajiban untuk membuat peraturan-peraturan atau yang
lazim disebut dengan awig-awig yang berfunsi sebagai pedoman untuk mengatur
masyarakat. Pada awalnya awig-awig tersebut merupakan suatu aturan yang tidak
tertulis, namun lambat laun sudah banyak yang menuangkan awig-awig tak tertuis
itu menjadi awig-awig tertulis. Setiap anggota krama wajib mematuhi dan
mentaati awig-awig tersebut. Di dalam awig-awig tersebut telah diletakan dasar
hubungan yang harmonis antara:
- Setiap anggota krama dengan Tuhan
- Antara anggota krama yang satu dengan anggota karma yang lainnya.
- Antara krama dengan lingkungan desannya
Awig-awig tersebut juga bukan hanya mengatur masalah hak dan kewajiban
setiap anggota desa pakraman, tetapi juga mencakup sanksi-sanksi berupa denda,
sanksi fisik, sanksi moral (spiritual) yang dirasakan cukup berat akibatnya
jika dilanggar oleh setiap anggota desa pakraman, mau tidak mau, suka tidak
suka, harus tunduk pada awig-awig tersebut. Semua itu adalah sarana pengikat
yang memungkinkan terwujudnya kesatuan dan persatuan dengan landasan jiwa
kekeluargaan dan kegotong royongan yang bersifat musyawarah mufakat. Lebih dari
itu bahwa dasar yang menjiwai awig-awig adalah “salulung sabhayantaka” artinya suka cita dan duka bersama.
Peranan para pemimpin desa pakraman yang lazim dilaksanakan secara
kekeluargaan dengan beberapa perangkatnya merupakan pengemudi yang
menghantarkan masyarakat pada kehidupan yang bercorak stabil sekaligus dinamis.
Yang dimaksudkan dengan stabil adalah suasana atau kondisi masyarakat yang
memungkinkan untuk melakukan aktivitas tanpa tergannggu. Sedangkan dinamis
adalah kebebasan setiap anggota krama untuk melakukan aktivitas dan
krativitasnya. Dengan demikian proses perubahan kearah kemajuan tetap terjadi
dengan dukungan factor stabilitas lingkungan.
3. Hubungan Manusia dengan Lingkungannya (
Palemahan)
Kalau manusia ingin hidupnya
sejahtra maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mensejahtrakan alam
dan isinya. Alam memberikan manusia itu tempat dan sumber penghidupan. Itu
artinya alam telah beryadnya kepada manusia. Karena itu manusiapun wajib
beryadnya kepada alam. Inilah yang disebut dengan Cakra Yadnya dalam
Bagawadgita III. 16. Barang siapa yang tidak memutar Cakra Yadnya pada
hakekatnya mereka itu jahat dalam hidunya. Contoh nyata dari penerapan Cakra
Yadnya di Karangasem Khususnya dan Bali pada
umumnya adalah :
- Upacara Tumpek Bubuh pada masyarakat Bali yang dilaksanakan pada hari Saniscara Keliwon Wariga setiap 210 hari sekali. Tujuan pelaksanaan hari ini adalah untuk melestarikan lingkunagan. Dan sekaligus upacara ini adalah dalam rangka pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan.
- Upacara Tumpek Kandang yang diselenggarakan untuk menyatakan terimakasih kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Pasupati Pencipta Binatang seperti ayam, itik, babi dan sapi yang telah membantu pekerjaan manusia maupun sebagai makanan. Upacara ini dilaksanakan pada hari Saniscara Keliwon Uye setiap 210 hari sekali.
Dalam membangun
Balipun dinyatakan dalam lontar Purana Bali untuk berpegang pada Sad Kerti
yaitu : melestarikan alam yang disebut dengan Samudra Kerti,Wana Kerti dan Danu
Kerti. Ini artinya kita wajib membangun kelestarian samudra, hutan dan semua
sumber-sumber air. Alam yang lestari itulah sebagai modal dasar untuk membangun
kehidupan masyarakat dan manusia yang sejahtra. Upaya untuk mewujudkan
kehidupan masyarakat yang sejahtra itulah yang disebut dengan Jagat Kerti dan
jana Kerti dalam lontar Purana Bali. Dalam
hubungan dengan Tri Hita Karana konsep ajaran Hindu dalam pelestarian ala mini
hendaknya diwujudkan dengan usaha sadar terperogram baik oleh pemerintah maupun
oleh umat Hindu sendiri. Karena perwujudan dari upaya pelestarian alam baru
dilakukan baru dilakukan dalam kegiatan upacara yadnya. Sepaerti mecaru dalam
Bhuta Yadnya. Tujuan Bhuta Yadnya adalah Bhuta Hita artinya mensejahtrakan
alam. Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan Bhuta
Yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. Makna upacara Bhuta Yadnya
menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan
kesadaran itu melakukan upaya untuk melestarikan kesejahtraan alam. Sebab usaha untuk melestarikan alam dalam Tri Hita
Karana itu sebagai salah satu unsur yang mutlak. Karena nilai-nilai yang
terkandung dalam upacara Bhuta Yadnya harus diwujudkan dengan perbuatan nyata.
Seperti contoh sehabis melakukan upacara Bhuta Yadnya hendaknya sampah-sampah
tidak dibiarkan berseraka, dan juga membuang sampah hendaknya tertuju pada
tempat samapah bukan sebaliknya membuang sampah seenaknya sehingga berakibat
kurang baik terhadap lingkungan sekitar dan juga mengakibatkan terjangkitnya
penyakit.
3. Tri Hita Karana dikaji dari segi Aksiologi.
Pengkajian Tri Hita Karana dilihat
dari kajian Aksiologi yaitu pengkajian dari segi makna dari Tri Hita Karana itu
sendiri. Artinya Tri Hita Karana ini adalah merupakan paying hukumnya manusia
dalam melakukan suatu aktivitas mengapa? Karena konsep dari Tri Hita karana itu
sndiri adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi
sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan. Hal ini
didukung oleh beberapa kitab dan lontar diantaranya yaitu :
- Dalam Lontar Mpu Kuturan disebutkan Mpu Kuturanlah yang menganjurkan kepada raja untuk menata kehidupan di Bali. “ Manut Linging Sang Hyang Aji “ artinya menata kehidupan berdasrkan ajaran kitab suci Weda. Di setiap Desa Pakraman dibangun Khayangan Tiga untuk Sang Catur Warna.. Jadinya Desa Pakraman inilah wadah Sang Catur Asrama dan Catur Warna untuk mewujudkan tujuan hidup mencapai Catur Warga yaitu Dharma, Artha , Kama dan Moksa. Di dalam Desa Pakraman inilah diciptakan suatu tatanan untuk mengembangkan Sradha dan Bhakti pada Tuhan dan pada Dewa Pitara saling mengabdi pada sesama dalam wujud Pasuka-dukan di Desa Pakraman serta mengembangkan cinta kasih pada sarwa prani.
- Kitab Sarasamuscaya 135 dengan istilah phihen tikang Bhutahita. Artinya usahakanlah kesejahtraan semua mahluk itu akan menjamin tegaknya Catur Warga atau empat tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya. Dari istilah Bhuta Hita inilah timbul tindalkan Bhuta Yadnya artinya beryadnya kepada semua mahluk ciptaan Tuhan.
- Bhagawad Gita III, 10. Meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana tetapi dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena itu manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada alam lingkungan (Kamadhuk).
- Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan Bhuta Yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. Makna upacara Bhuta Yadnya menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran itu melakukan upaya untuk melestarikan kesejahtraan alam. Sebab usaha untuk melestarikan alam dalam Tri Hita Karana itu sebagai salah satu unsur yang mutlak. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Bhuta Yadnya harus diwujudkan dengan perbuatan nyata BAB III
PENUTUP
1 Simpulan.
Konsep Tri Hita Karana benar-benar
harus kita pahami dan sekaligus harus kita terapkan di dalam kehidupan
masyarakat karena Tri Hita Karana itu sendiri merupakan tiga penyebab
kebahagiaan, yang pembagiannya yaitu : Pawongan yaitu hubungan manusia dengan
manusia, Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam, Parahyangan yaitu
hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widi.
Manusia tidak dapat hidup sendiri di
dunia ini, dia membutuhkan orang lain. Manusia perlu hubungan yang harmonis
dengan sesamanya. Manusia sangat tergantung dengan alam sekitarnya. Alam
menyediakan keperluan hidup manusia. Ada
udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan, binatang dan lain-lain. Maka dari itu
kewajiban kita adalah menjaga alam ini agar tidak rusak, karena merusak alam
sama artinya dengan merusak diri sendiri. Karena manusia ciptaan Sanghyang Widi
maka kita wajib dan hormat dan ingat selalu kepada beliau dengan cara rajin
sembahyang serta mengamalkan/ melaksanakan perintahnya dan menjahui segala
larangannya. Andaikata manusia mampu melaksanakan konsep ini saya optimis alam/
dunia ini akan menemui apa yang dinamakan Jagadhita
Ya Caiti Dharma.
2. Saran
Menyadari serba keterbatasan penulis
maka dengan kerendahan hati saya meminta kritik dan saran terhadap para pembaca
peper ini, karena tanpa kritik dan saran membangun dari para pembaca mustahil
apa yang saya perbuat tidak akan bisa sempurna. Trimakasih
DAFTAR PUSTAKA
- Donder I Ketut, Kosmologi Hindu
- Kurikulum Berbasis Kompetensi, Semara Ratih Pendidikan Agama Hindu
- _______________, 1992, Warta Hindu Dharma
- Wiana I Ketut, Drs, Mengapa Bali disebut Bali