Selasa, 03 April 2012






TRI HITA KARANA
Oleh. JM.PICA.
 
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Filosofis hidup yang disebut Tri Hita Karana itu bukan hanya ada di Bali saja. Di tingkat Nasionalpun filosofis itu menjadi landasan pembangunan bangsa Indonesia. Demikian juga di tingkat Internasional atau global hal ini juga ada, cuma tidak bernama Tri Hita Karana, namanya konsep hidup seimbang. Oleh karena itu umat Hindu di Bali jangan sampai bersifat arogan karena mempunyai istilah Tri Hita Karana. Lebih baik wujudkan falsafah hidup itu lebih nyata dari pada kita bersombong ria yang kosong. Kita bisa terjebak melamun bernostalgia pada keindahan masa lalu. Padahal dihadapan kita banyak persoalan-persoalan pelik yang sedang menghadang kita. Falsafah hidup berdasarkan hidup  Tri Hita Karana ini memang sudah diajarkan dalam kitab suci Bhagawad Gita III, 10. Meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana tetapi dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena itu manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada alam lingkungan (Kamadhuk). Oleh karena itu Tri Hita Karana bukanlah sekedar konsef tata ruang.
Untuk menilai bahwa Tri Hita Karana sudah terwujud dengan baik dalam masyarakat perlu ditentukan terlebih dahulu tolak ukur yang dijadikan dasar acuan untuk menilainya. Misalnya menilai hubungan manusia dengan Tuhan, Dapatkah hubungan manusia dengan Tuhan dinilai sudah sukses karena banyaknya Pura yang dibangun dan direnovasi. atau diukur dari banyaknya rakyat mengeluarkan duit untuk kepentingan upacara Agama. Konon di Bali setiap tahun umat Hindu menghabiskan tiga setengah triliyun rupiah lebih untuk kepentingan upacara Agama. Mungkin dari segi ekonomi bagus karena banyaknya uang yang beredar di masyarakat bawah. Namun dari segi pembenahan moral dan mental perlu kita telusuri. Sudahkah nilai-nilai Agama yang dikandung oleh upacara Agama itu teraplikasi dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial. Bahkan nampaknya masih banyak umat Hindu tidak mengerti apa makna suatu Upacara Agama dilangsungkan. Pura yang banyak itu sudahkah digunakan dengan tepat untuk membina umat. Kalau pura hanya digunkan saat odalan atau upacara agama pada suatu saat belumlah patut kita berbangga ria. Karena fungsi pura bukan hanya untuk upacara semata . Pura umumnya memiliki Jaba sisi, Jaba tengah dan Jeroan Pura. Hal ini belum difungsikan secara benar, bahkan jaba sisi lebih banyak digunakan untuk menggelar judian dalam bentuk sabungan ayam, dan bentuk-bentuk judian lainnya. Sudahkah sebagaian besar umat melakukan hubungan dengan Tuhan sesuai dengan petunjuk ajaran Agama Hindu yang dianutnya, seperti Trisandya, Sembahyang Purnam-Tilem dan lain sebagainya. Meskipun mengukur hubungan antara manusia dengan Tuhan tidak bisa diukur dari hubungan formal seperti itu saja. Ada banyak cara yang dibenarkan oleh kitab suci untuk melaksanakan hubungan dengan Tuhan di luar yang formal seperti itu. Dalam satu persoalan saja hubungan manusia dengan Tuhan kita akan banyak sekali menemukan realita yang masih jauh dari idialisme Tri Hita Karana. Oleh karena itu belumlah waktunya kita berbangga-bangga. Orang yang mudah berbangga-bangga itu cepat puas diri dan ujung-ujungnya sering menjadi sombong. Dari berpuas diri dan sombong kita bisa lengah dan lemah menghadapi berbagai persoalan yang masih membentang di hadapan kita. Kelengahan dan kelemahan ini merupakan awal dari suatu kegagalan. Karena itu bangga yang berlebihan (dambhah) dan sombong (darpah) tergolong sifat-sifat Asura menurut Bhagawad Gita XVL. 4. Membanggakan diri yang berlebihan dapat menimbulkan sikap untuk menganggap rendah fihak lain. Menganggap orang lain lebih rendah dengan diri merupakan suatu bibit permusuhan yang tersembunyi. Menurut ajaran Rwa Bineda semua ciptaan Tuhan di kolong langit ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bentuk kelebihan dan kekurangan ini berbeda-beda. Setiap kita merasa memiliki kelebihan hendaknya juga kita serius meneliti kekurangan kita. Dengan demikian kita akan dapat mencegah timbulnya sikap takabur. Karena sikap takabur seperti itu kita bisa mandeg untuk mengembangkan proses perbaikan diri karena sudah menganggap diri berhasil. Oleh karena itu janganlah dulu berbangga ria tentang penerapan Tri Hita Karana di Bali, karena masih banyak bolong-bolongnya, marilah kita kerja terpadu untuk menutup bolong-bolong tersebut.

1.2. Rumusan Masalah
  1. Apakah difinisi dari pada Tri Hita Karana ?
  2. Bagaimana proses penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan kita ?
  3. Makna apa yang diperoleh dari adanya TRI Hita Karana ?

1.3. Tujuan Permasalahan
  1. Mengetahui dipinisi dari Tri Hita Karana
  2. Mengetahui proses penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan kita
  3. Mengetahui makna yang diperoleh dari adanya Tri Hita Karana


 BAB II
PEMBAHASAN

2.1. . Tri Hita Karana bila dikaji dari segi Ontologi.
            Bila dikaji dari segi Ontologi Tri Hita Karana itu sendiri adalah pengkajian lebih menitik beratkan pada kajian aspek difinisi itu sendiri, artinya difinisi dari Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari kata Tri, Hita dan Karana. Tri artinya tiga, Hita artinya Bahagia sedangkan Karana artinya penyebab.  Maka Tri Hita Karana adalah tiga penyebab dari suatu kebahagian.
            Adapula yang mengatakan bahwa Tri Hita Karana adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan.
            Dalam kitab Purana juga dikatakan bahwa Tri Hita Karana adalah suatu keharmonisan antara hubungan manusia dengan Tuhan berdasrkan Sradha dan Bhakti. Hubungan antara sesama manusia berdasarkan saling pengabdian (Sevanam) dan hubungan antara manusia dengan alam lingkungan berdasarkan kasih sayang.
            Konsep Tri Hita Karana adalah suatu konsep yang menyangkut konsep kebersihan sekala (fisik) dan konsep kesucian niskala (batin spiritual). Konsep ini juga memberikan jaminan adanya keselarasan antar konsep pikiran (mancika) konsep perkataan (wacika)  dan konsep perbuatan (kayika) yang lebih dikenal dengan konsep Tri Kaya Parisuda. Konsep Tri Hita Karana telah menjadi konsep idial dalam menata kehidupan desa pakraman yang dahulu disebut desa adat

2.2. Tri Hita Karana dikaji dari segi Efistimologi.
            Pengkajian dari segi Efistimologi lebih menekankan kepada aspek Proses pelaksanaan dar Tri Hita Karana itu sendiri.
            Sebelum ke proses pelaksanaan  dalam kehidupan alangkah baiknya kita ungkap sekelumit sejarah Tri Hita Karana yaitu mengenai konsep hidup idial seperti ini diterapkan pada abad ke sebelas untuk menata kehidupan umat Hindu di Bali. Pada abad tersebut Mpu Kuturan mendampingi Raja menata kehidupan umat Hindu di Bali. Dalam Lontar Mpu Kuturan disebutkan Mpu Kuturanlah yang menganjurkan kepada raja untuk menata kehidupan di Bali. “ Manut Linging Sang Hyang Aji “ artinya menata kehidupan berdasrkan ajaran kitab suci Weda. Di setiap Desa Pakraman dibangun Khayangan Tiga untuk Sang Catur Warna.. Jadinya Desa Pakraman inilah wadah Sang Catur Asrama dan Catur Warna untuk mewujudkan tujuan hidup mencapai Catur Warga yaitu Dharma, Artha , Kama dan Moksa. Di dalam Desa Pakraman inilah diciptakan suatu tatanan untuk mengembangkan Sradha dan Bhakti pada Tuhan dan pada Dewa Pitara saling mengabdi pada sesama dalam wujud Pasuka-dukan di Desa Pakraman serta mengembangkan cinta kasih pada sarwa prani. Pengembangan cinta kasih pada alam lingkungan diajarkan dalam kitab Sarasamuscaya 135 dengan istilah phihan tikang Bhutahita. Artinya usahakanlah kesejahtraan semua mahluk itu akan menjamin tegaknya  Catur Warga atau empat tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya. Dari istilah Bhuta Hita inilah timbul tindalkan Bhuta Yadnya artinya beryadnya kepada semua mahluk ciptaan Tuhan. Kehidupan rakyat pada lampau masih sangat tergantung pada pada budaya agraris tentunya pengamalan ajaran Tri Hita Karana dalam nuansa agraris telah berhasil mengembangkan hasil budaya agraris yang adi luhung. Budaya yang dihasilkan oleh pengamalan Tri hita Karana pada masa agraris itulah yang menyebabkan Bali menjadi pulau Hindu yang sangat terkenal sampai menembus ke dunia internasional.
            Proses Penerapan Tri Hita Karana dilakukan dengan tiga jalan yaitu:
1. Hubungan Manusia dengan Tuhan ( Parhyangan )
            Hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam lingkungan bukan merupakan hal yang terpisah-pisah. Tiga hubungan tersebut harus menyatu dan terpadu membentuk sikap hidup dalam konsep Tri Hita Karana. Kalau ia sudah menjadi sikap hidup yang integral dalam diri barulah Tri Hita Karana itu menampakan hasil memberikan kebahagian pada manusia. Makna hubungan antara manusia dengan Tuhan harus mengejawantah pada hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungan. Dari meningkatnya kwalitas hubungan antara manusia dengan Tuhan itulah yang menjadi penyebab meningkatnya hubungan yang lain. Hubungan antara manusia dengan Tuhan dala Tri Hita Karana tidak hanya untuk mempertemukan Atman dengan Brahman untuk mencapai Moksa. Memuja Tuhan bukan untuk melupakan kehidupan duniawi. Memuja Tuhan justru untuk mendatangkan kekuatan suci untuk menata kehidupan di dunia agar kehidupan di dunia menjadi semakin berkualitas. Sraddha dan Bhakti umat pada Tuhan harus mampu didaya gunakan untuk dijadikan landasan spiritual menuntun manusia di dunia ini menuju kehidupan yang bahgia. Meningkatnya Sraddha dan Bhakti pada Tuhan dimasa lampau berbeda dengan memuja Tuhan pada jaman moderen dewasa ini. Pada jaman dahulu kehidupan masih sangat kental budaya agraris persoalan hidup yang dihadapi oleh manusia sangat berbeda dengan persolan hidup pada masa industri sekarang. Hal ini timbul karena adanya perubahan hidup kebutuhan hidup manusia. Dalam masyarakat agraris kebutuhan hidup manusia sangat sederhana, baik yang menyangkut kebutuhan hidup yang bersifat biologis, sosiologis maupun kebutuhan filosofis.
            Pada jaman moderen hubungan antara manusia dengan manusia semakin dinamis dan multi dimensi. Hal ini terjadi karena semakin majunya teknologi transportasi dan teknologi komunikasi. Kemajuan itu membutuhkan adanya peningkatan kwalitas  moral dan daya tahan mental untuk mempertahankan identitas diri . Tanpa kekuatan moral dan mental yang semakin tinggi manusia akan kehilangan kesempatan mendapatkan kehidupan yang bahagia.
            Bukti nyata adanya penerapan konsep Parhyangan di Bali umumnya dan di Karangasem khusunya adalah adanya kesadaran dan tuntunan batiniah terhadap kehadiran kahyangan pada setiap desa pakraman. Konsep kahyangan berfungsi sebagai sesuatu yang disakralkan baik dalam wujud sebagai sanggah, pemerajaan paibon dan kahyangan desa. Pola penempatan kahyangan ditentukan berdasarkan tata arsitektur tradisional tersendiri yang dalam kenyataanya berorientasi pada konsep tempat  hulu- teben”. Selain itu juga konsep arah kaja-kangin sebagai arah hulu (luan) sedangkan kelod-kauh merupakan arah teben. Dalam kehidupan sehari-hari konsep ini nampak jelas pelaksanaannya dalam masyarakat kesemuamya bertujuan untuk mewujudkan keharmonisan keseimbangan dalam kehidupan mayarakat.
            Disamping yang disebutkan di atas di setiap ruamgan rumah juga ada pelangkiran, disetiap keparangan rumah pada bagian uranusnya keluwan) ada merajaan Kemulan. Disetiap banjar ada tempat pemujaan. Di Bali banyak sekali umat punya wantilan , balai banjar, pura dengan jaba sisi, jaba tengah dan jeroan pura. Semua ini dapat difunsikan lebih intensif lagi untuk mengembangkan pemujaan pada Tuhan yang lebih spiritual.



2. Hubungan Manusia dengan Manusia (Pawongan)
            Hubungan antara manusia dengan manusia haruslah saling beryadnya dalam pengamalan Tri Hita Karana. Hubungan saling beryadnya itu dalam kesetaraan yang adil. Setiap swadarma yang dimiliki oleh setiap orang dijadikan peluang untuk beryadnya pada orang lain. Kalau masih antar sesama bahkan antar kelompok tidak ada sikap saling beryadnya maka apa yang dikumandangkan sebagai Tri Hita Karana belum dapat kita katakana berjalan berjalan dengan baik.
            Sebagai ilustrasi bagaimana kita bisa menyebut hubungan antar sesama berjalan harmonis kalau masih ada warga yang arogan mengkelaim diri paling punya martabat. Ada suatu warga adat mengambil keputusan adat yang bertentangan dengan kebenaran agama. Seperti menghukum anggota krama adat yang dianggap bersalah dengan hukuman yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi seperti ada warga kasepekang gara-gara menggantung kursi plastik di dekat padmasana yang terjadi di Tabanan baru-baru ini. Sehingga mengakibatkan dikenai denda sebanyak 200 juta. Adat yang demikian ini jelas adat yang tidak bermartabat.
            Untuk itu kesadaran terhadap pelaksanaan kewajiban dari setiap anggota masyrakat/kerama sangat perlu diupayakan. Guna merealisasikan upaya itu maka setiap desa pakraman secara otomatis berhak dan berkewajiban untuk membuat peraturan-peraturan atau yang lazim disebut dengan awig-awig yang berfunsi sebagai pedoman untuk mengatur masyarakat. Pada awalnya awig-awig tersebut merupakan suatu aturan yang tidak tertulis, namun lambat laun sudah banyak yang menuangkan awig-awig tak tertuis itu menjadi awig-awig tertulis. Setiap anggota krama wajib mematuhi dan mentaati awig-awig tersebut. Di dalam awig-awig tersebut telah diletakan dasar hubungan yang harmonis antara:
  1. Setiap anggota krama dengan Tuhan
  2. Antara anggota krama yang satu dengan anggota karma yang lainnya.
  3. Antara krama dengan lingkungan desannya
Awig-awig tersebut juga bukan hanya mengatur masalah hak dan kewajiban setiap anggota desa pakraman, tetapi juga mencakup sanksi-sanksi berupa denda, sanksi fisik, sanksi moral (spiritual) yang dirasakan cukup berat akibatnya jika dilanggar oleh setiap anggota desa pakraman, mau tidak mau, suka tidak suka, harus tunduk pada awig-awig tersebut. Semua itu adalah sarana pengikat yang memungkinkan terwujudnya kesatuan dan persatuan dengan landasan jiwa kekeluargaan dan kegotong royongan yang bersifat musyawarah mufakat. Lebih dari itu bahwa dasar yang menjiwai awig-awig adalah “salulung sabhayantaka”  artinya suka cita dan duka bersama.
Peranan para pemimpin desa pakraman yang lazim dilaksanakan secara kekeluargaan dengan beberapa perangkatnya merupakan pengemudi yang menghantarkan masyarakat pada kehidupan yang bercorak stabil sekaligus dinamis. Yang dimaksudkan dengan stabil adalah suasana atau kondisi masyarakat yang memungkinkan untuk melakukan aktivitas tanpa tergannggu. Sedangkan dinamis adalah kebebasan setiap anggota krama untuk melakukan aktivitas dan krativitasnya. Dengan demikian proses perubahan kearah kemajuan tetap terjadi dengan dukungan factor stabilitas lingkungan.

3. Hubungan Manusia dengan Lingkungannya ( Palemahan)
            Kalau manusia ingin hidupnya sejahtra maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah mensejahtrakan alam dan isinya. Alam memberikan manusia itu tempat dan sumber penghidupan. Itu artinya alam telah beryadnya kepada manusia. Karena itu manusiapun wajib beryadnya kepada alam. Inilah yang disebut dengan Cakra Yadnya dalam Bagawadgita III. 16. Barang siapa yang tidak memutar Cakra Yadnya pada hakekatnya mereka itu jahat dalam hidunya. Contoh nyata dari penerapan Cakra Yadnya di Karangasem Khususnya dan Bali pada umumnya adalah :
  1. Upacara Tumpek Bubuh pada masyarakat Bali yang dilaksanakan pada hari Saniscara Keliwon Wariga setiap 210 hari sekali. Tujuan pelaksanaan hari ini adalah untuk melestarikan lingkunagan. Dan sekaligus upacara ini adalah dalam rangka pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan.
  2. Upacara Tumpek Kandang yang diselenggarakan untuk menyatakan terimakasih kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Pasupati Pencipta Binatang seperti ayam, itik, babi dan sapi yang telah membantu pekerjaan manusia maupun sebagai makanan. Upacara ini dilaksanakan pada hari Saniscara Keliwon Uye setiap 210 hari sekali.
Dalam membangun Balipun dinyatakan dalam lontar Purana Bali untuk berpegang pada Sad Kerti yaitu : melestarikan alam yang disebut dengan Samudra Kerti,Wana Kerti dan Danu Kerti. Ini artinya kita wajib membangun kelestarian samudra, hutan dan semua sumber-sumber air. Alam yang lestari itulah sebagai modal dasar untuk membangun kehidupan masyarakat dan manusia yang sejahtra. Upaya untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtra itulah yang disebut dengan Jagat Kerti dan jana Kerti dalam lontar Purana Bali. Dalam hubungan dengan Tri Hita Karana konsep ajaran Hindu dalam pelestarian ala mini hendaknya diwujudkan dengan usaha sadar terperogram baik oleh pemerintah maupun oleh umat Hindu sendiri. Karena perwujudan dari upaya pelestarian alam baru dilakukan baru dilakukan dalam kegiatan upacara yadnya. Sepaerti mecaru dalam Bhuta Yadnya. Tujuan Bhuta Yadnya adalah Bhuta Hita artinya mensejahtrakan alam. Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan Bhuta Yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. Makna upacara Bhuta Yadnya menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran itu melakukan upaya untuk melestarikan kesejahtraan alam.  Sebab usaha untuk melestarikan alam dalam Tri Hita Karana itu sebagai salah satu unsur yang mutlak. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Bhuta Yadnya harus diwujudkan dengan perbuatan nyata. Seperti contoh sehabis melakukan upacara Bhuta Yadnya hendaknya sampah-sampah tidak dibiarkan berseraka, dan juga membuang sampah hendaknya tertuju pada tempat samapah bukan sebaliknya membuang sampah seenaknya sehingga berakibat kurang baik terhadap lingkungan sekitar dan juga mengakibatkan terjangkitnya penyakit.

3. Tri Hita Karana dikaji dari segi Aksiologi.
            Pengkajian Tri Hita Karana dilihat dari kajian Aksiologi yaitu pengkajian dari segi makna dari Tri Hita Karana itu sendiri. Artinya Tri Hita Karana ini adalah merupakan paying hukumnya manusia dalam melakukan suatu aktivitas mengapa? Karena konsep dari Tri Hita karana itu sndiri adalah sikap hidup yang seimbang antara memuja Tuhan dengan mengabdi sesama manusia serta mengembangkan kasih sayang pada alam lingkungan. Hal ini didukung oleh beberapa kitab dan lontar diantaranya yaitu :
  1. Dalam Lontar Mpu Kuturan disebutkan Mpu Kuturanlah yang menganjurkan kepada raja untuk menata kehidupan di Bali. “ Manut Linging Sang Hyang Aji “ artinya menata kehidupan berdasrkan ajaran kitab suci Weda. Di setiap Desa Pakraman dibangun Khayangan Tiga untuk Sang Catur Warna.. Jadinya Desa Pakraman inilah wadah Sang Catur Asrama dan Catur Warna untuk mewujudkan tujuan hidup mencapai Catur Warga yaitu Dharma, Artha , Kama dan Moksa. Di dalam Desa Pakraman inilah diciptakan suatu tatanan untuk mengembangkan Sradha dan Bhakti pada Tuhan dan pada Dewa Pitara saling mengabdi pada sesama dalam wujud Pasuka-dukan di Desa Pakraman serta mengembangkan cinta kasih pada sarwa prani.
  2. Kitab Sarasamuscaya 135 dengan istilah phihen tikang Bhutahita. Artinya usahakanlah kesejahtraan semua mahluk itu akan menjamin tegaknya  Catur Warga atau empat tujuan hidup yang terjalin satu sama lainnya. Dari istilah Bhuta Hita inilah timbul tindalkan Bhuta Yadnya artinya beryadnya kepada semua mahluk ciptaan Tuhan.
  3. Bhagawad Gita III, 10. Meskipun dalam kitab tersebut tidak bernama Tri Hita Karana tetapi dalam kitab tersebut dinyatakan Tuhan (Prajapati) telah beryadnya menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Karena itu manusia (Praja) hendaknya beryadnya kepada Tuhan (Prajapati), kepada sesama manusia (Praja) dan kepada alam lingkungan (Kamadhuk).
  4. Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan Bhuta Yadnya ngarania taur muang kapujan ring tuwuh. Makna upacara Bhuta Yadnya menanamkan nilai-nilai spiritual kepada umat agar tumbuh kesadaran dan dengan kesadaran itu melakukan upaya untuk melestarikan kesejahtraan alam.  Sebab usaha untuk melestarikan alam dalam Tri Hita Karana itu sebagai salah satu unsur yang mutlak. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam upacara Bhuta Yadnya harus diwujudkan dengan perbuatan nyata                                                                                                                                                                                                                  BAB III
PENUTUP

1 Simpulan.
            Konsep Tri Hita Karana benar-benar harus kita pahami dan sekaligus harus kita terapkan di dalam kehidupan masyarakat karena Tri Hita Karana itu sendiri merupakan tiga penyebab kebahagiaan, yang pembagiannya yaitu : Pawongan yaitu hubungan manusia dengan manusia, Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam, Parahyangan yaitu hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widi.
            Manusia tidak dapat hidup sendiri di dunia ini, dia membutuhkan orang lain. Manusia perlu hubungan yang harmonis dengan sesamanya. Manusia sangat tergantung dengan alam sekitarnya. Alam menyediakan keperluan hidup manusia. Ada udara, air, tanah, tumbuh-tumbuhan, binatang dan lain-lain. Maka dari itu kewajiban kita adalah menjaga alam ini agar tidak rusak, karena merusak alam sama artinya dengan merusak diri sendiri. Karena manusia ciptaan Sanghyang Widi maka kita wajib dan hormat dan ingat selalu kepada beliau dengan cara rajin sembahyang serta mengamalkan/ melaksanakan perintahnya dan menjahui segala larangannya. Andaikata manusia mampu melaksanakan konsep ini saya optimis alam/ dunia ini akan menemui apa yang dinamakan Jagadhita Ya Caiti Dharma.

2. Saran
            Menyadari serba keterbatasan penulis maka dengan kerendahan hati saya meminta kritik dan saran terhadap para pembaca peper ini, karena tanpa kritik dan saran membangun dari para pembaca mustahil apa yang saya perbuat tidak akan bisa sempurna. Trimakasih

           

DAFTAR PUSTAKA

  1. Donder I Ketut, Kosmologi Hindu
  2. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Semara Ratih Pendidikan Agama Hindu
  3. _______________, 1992, Warta Hindu Dharma
  4. Wiana I Ketut, Drs, Mengapa Bali disebut Bali




























Tidak ada komentar:

Posting Komentar