Senin, 02 April 2012

Mitologi Pura Kebon Agung.



Mitologi Pura Kebon Agung.
Wawancara Tgl. 1 Maret 2012 .
Nara sumber : I Ketut Ngenteg, 70 Th.
     Pada Tahun 1700 Masehi diceritakan di wilayah Desa Linggawana yang merupakan Masyarakat Bali mula dan merupakan Desa Tradisional yang sampai saat ini masih ajeg melestarikan tradisi-tradisi adat  mengalami musibah dan di cekam rasa takut akan dimakan oleh mahluk angker yang berwujud  Raksasa. Raksasa ini sering memangsa binatang binatang yang berkeliaran didalam hutan perbukitan Desa Linggawana , seperti sapi, kidang, kijang  dan juga binatang - binatang lain dan bahkan ternak  peliharaan penduduk Desa Linggawana. Raksasa ini tinggal disebuah Goa di bawah Bukit yang sekarang dikenal dengan nama Goa Song Bowong, yang kalau diartikan Song artinya lobang atau Goa dan Bowong  artinya manusia besar  yang kalau dimaksud manusia dengan bertubuh besar adalah raksasa. Suatu saat karena banyaknya binatang yang menjadi tadahan makanan raksasa membuat keberadaan binatang di hutan sekitar goa semakin habis sehingga raksasa mulai mengincar daging manusia, ini terbukti dengan dimangsanya penduduk Linggawana yang kebetulan mencari rumput atau kayu bakar disekitar bukit atau hutan di wilayah linggawana. Hilangnya beberapa penduduk Linggawana menjadikan masyarakat Linggawana menjadi semakin resah dan merasa semakin tidak aman, sehingga beberapa penghulu dan pemuka masyarakat  yang saat itu di kenal dengan krama Roras  sepakat untuk tangkil ke puri yang mana saat itu Linggawana merupakan wewidangan Kerajaan Puri Karangasem. Setelah dihadapan raja disampaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Linggawana oleh pemuka adat masyarakat linggawana. Akhirnya Raja Karang Asem berunding dengan para patih kerajaan dan para punggawa dengan mengambil sikap untuk memerintahkan patihnya datang ke Sraya pada Buta Telu untuk bisa membantu masyarakat linggawana membunuh Raksasa yang ada di Song Bowong. Segala upaya dilakukan oleh Buta Telu untuk membinasakan Raksasa namun hasilnya sia-sia, raksasa tidak dapat dikalahkan. Dan hal ini membuat semakin khawatir pemukha masyarakat linggawana akan keselamatan warga masyarakatnya sehingga kembali lagi tangkil ke puri menyampaikan permasalahannya. Raja I Gusti Ngurang Jelantik Karangasem yang dikenal dengan Raja Dewata merundingkan permasalahan tersebut dengan para patih dan punggawa kerajaan dan diambil kesepakatan untuk melanjutkan dan  menyampaikan kepada Puri Klungkung, karena Puri Klungkung merupakan Pusat Kerajaan untuk raja – raja di Bali yang pada saat itu berpusat di Gelgel. Raja Klungkung menerima laporan dari utusan raja karangasem dan memikirkan jalan keluar yang harus diambil dengan bermeditasi mohon petunjuk kehadapan Ida S. Widhi. Sangat gembira hati raja setelah Ida Ngelesuang Yoga semadi ( menyelesikan meditasinya ) didapat petunjuk bahwa Si raksasa yang ada di Gunung Song Bowong adalah merupakan penjelmaan dari Bhatara Wisnu yang kena pastu. Dimana diceritakan saat berkumpulnya para dewa dikahyangan untuk meminum tirtha amerta tiba-tiba saja tirtha amertha tumpah dan mengenai istri Bhatara Ciwa yaitu Bhatari Uma dan marahlah Bhatara Ciwa sehingga mengutuk Bhatara Wisnu agar Bhatara Wisnu dilahirkan kebumi dan berwujud raksasa. Di ceritakan pula bersamaan dengan itu Dalem Wayahan Manyeneng di kerajaan Dandang Gendis di daerah Jawa istri beliau mulai ngidam dan  semakin lama semakin tualah umur kandungan istri Dalem Wayahan dan pada hari yang dinantikan lahirlah anak dari dalem Wayahan . kelahiran bayi tersebut membuat terkejut seisi istana karena kelahiran bayi yang dilahirkan berujud raksasa ,sehingga Dalem Wayahan memerintahkan untuk membuang bayi tersebut ke seberang pulau, dibuatkan rakit dan diantar oleh beberapa patih kerajaan menyeberangi lautan , dan ditengah lautan pecahlah rakitnya, patih dan bayi raksasa terpisah, patih diceritakan kembali kekerajaan Dangdang Gendis, bayi terapung dilautan terbawa gelombang air laut dan bayi terdampar di Lobang Kaang di daerah Bunutan dekat Seraya dan tempat tersebut kini dikenal dengan nama Soong kaang atau Congkaang . Karena penjelmaan Dewa,  bayi menjadi cepat besar dan mampu berdiri dan berjalan menyusuri daerah perbukitan dan sampailah di sebuah gua besar yang menjadi tempat tinggalnya yang dikenal dengan Goa Song Bowong. Sehingga dalam pawisik dan meditasi, raja mendapatkan petunjuk bahwa  turunan Dalem Wayahan lah yang nantinya mampu membunuh  raksasa yang tinggal Di Goa Song bowong. Raja Klungkung memikirkan siapa sebenarnya turunan Dalem Wayahan itu dan diketahuilah bahwa I Jero Getas ( Warih Arya Gajah para ) merupakan turunan dari Dalem wayahan yang sebelumnya menjadi Dalem Di kerajaan Dandang Gendis Di Jawa. Dengan sikap penuh hormat I Jero getas menerima sabda wecana dari raja dan tidak menolak apa yang menjadi titah raja. I Jero getas berangkat dengan diiringi 200 orang  ke Desa Linggawana yang  saat itu wilayah Desa Bali Mula Linggawana yang sangat Luas dan banyak kebun serta tanahnya subur  karena sumber – sumber air yang melimpah dan hutan yang belum di rombak menjadi menjadi tanah ladang atau pemukiman seperti  keadaan saat ini. Begitu Tiba di Wilayah  linggawana I Jero Getas  diterima oleh Desa Roras dan masyarakat Linggawana dengan penuh harap agar bisa mengalahkan Raksasa Yang ada di Song Bowong dan tempat yang menjadi tempat tinggal I Jero Getas pertama kali di beri nama Getas yaitu yang sekarang berada di Sebelah Utara Sungai Celincing di depan SDN 1 Culik.  Segala taktik dan upaya dirundingkan untuk bisa membunuh raksasa yang sudah banyak memangsa ternak dan bahkan manusia, dengan pengikut 200 0rang pengabih I Jero Getas membuat lah minyak dari kelapa yang nantinya dijadikan sarana dalam menjalankan taktik upaya membunuh raksasa dan masyarakat Linggawana disuruh untuk mempersiapkan kayu bakar sebanyak-banyaknya oleh I Jero Getas. Dan pada waktu yang telah ditentukan  menjelang sore hari  berangkatlah I Jero Getas dengan di iringi pasukan pendampingnya  sambil membawa minyak dan juga lampu penerang  di malam hari dan juga masyarakat Linggawana dengan membawa kayu bakar dan juga ternak sapi yang nantinya akan di gunakan sebagai umpan untuk dapat memancing keluar raksasa  ke Bisbis yang sekarang disebut bukit Mabulu. Sapi yang menjadi umpan di ikat di hutan dekat Gua , penuh kewaspadaan siasat ini di laksanakan  dan I Gero Getas naik ke bukit Yeh Mabulu sambil membawa lentera dan minyak dan siap dengan senjata pedang. Pohon kayu besar yang tumbuh diatas bukit di panjat dan setelah diatas batang pohon dilumuri minyak kelapa dan kayu bakar di tumpuk diatas bukit dan menunggu perintah untuk dibakar ,  menjelang malam  seperti biasanya raksasa keluar untuk mencari makanan dan diciumnya ada makanan di luar gua , begitu keluar di endusnya dimana kira-kira makanan itu berada dan di cari asal bau makanan tersebut dan ditemukanlah ada sapi di tengah hutan dan  raksasa ingin sekali segera untuk memangsanya tiba-tiba saja dilihatnya ada nyala api di puncak bukit yang membuat terkejut si Raksasa dan berpalinglah raksasa ke sumber nyala api di atas bukit dimana yang menyalakan api adalah masyarakat linggawana yang sudah mempersiapkan sebelumnya dan I jero Getas yang sudah menunggu dari sore hari saat – saat seperti ini ,dilihatlah I Jero Getas oleh Si raksasa segera di hampiri I Jero Getas untuk di tadah dijadikan makan apalagi karena sangat marah si raksasa merasa di ganggu di malam hari dengan adanya nyala api yang besar yang mana dikira bermaksud untuk membakar hutan yang ada di sekitar Gua tempat tinggal Si raksasa, begitu Si raksasa sudah dekat naiklah I Jero Getas keatas pohon dengan membawa lentera yang menyala sambil membawa minyak kelapa dan senjata pedang yang telah dipersiapkan sedangkan masyarakat linggawana menghindar sejauh mungkin, begitu diatas pohon dituangkanlah minyak kelapa pada batang pohon seingga terlumuri minyak kelapa ranting dan batang pohon yang dinaiki oleh I Jero Getas, begitu Si raksasa tiba langsung memanggil I Jero Getas agar turun karena akan dimangsa , karena sangat marahnya maka Si  Raksasa memanjat pohon besar tempat I Jero Getas dengan susah payah Si raksasa memanjat pohon karena licin akibat lumuran minyak kelapa  begitu akan sampai diatas dengan secepat kilat I Jero Getas memenggal kepala Si Raksasa dan terpisahlah kepala dan tubuh si Raksasa, kepala Si Raksasa jatuh di sungai yang ada di bawah  bukit maka bersoraklah masyarakat Linggawana menyaksikan kejadian yang meng  gembirakan karena akan terbebas dari ancaman si raksasa. Begitu di dekati kepala Siraksasa terdengar sabdalah dari langit agar kepala si raksasa dibakar dijadikan abu dan bersamaan itu pula turunan I Getas yang mendapat petunjuk sabda bahwa selama tujuh turunan akan mendapatkan rejeki dari membuat minyak kelapa begitu juga dengan masyarakat linggawana selama tujuh turunan akan mendapatkan rejeki dari berjualan kayu bakar karena peran masyarakat Linggawana yang menyediakan kayu bakar untuk bisa terbunuhnya si rakasasa dan juga  karena berdasarkan petunjuk sabda sebelumnya bahwa Si raksasa adalah penjelmaan Bhatara Wisnu yang kena pastu . Maka dibakarlah kepala siraksasa dijadikan abu dan sungai tempat menjadikan abu kepala si raksasa dinamai Tukad Abu ulu sampai sekarang yang artinya Kepala di bakar dijadikan abu. Abu Ulu lama –kelamaan karena proses pengucapan menjadilah Tukad yeh abu ulu atau tukad yeh bulu. Dan juga karena petunjuk sabda atau suara dari langit abu kepala siraksasa agar di bawa dan di tanam di atas sumber mata air yang mana di tempat itu sekarang di namai Puri Tengah dan di buatlah pelinggih yang sekarang berbentuk gedong kembar , karena abu kepala raksasa adalah penjelmaan Bhatara Wisnu maka air adalah simbolis sekala Bhatara Wisnu secara sekala di dalam mensejahtrakan umat manusia dan semua kehidupan lainnya maka di bawah Puri Tengah dibangunlah Pelinggih Ulun Suwih yang menjadi pusat keluarnya air untuk mengairi persawahan yang merupakan wilayah subak Kebon Agung. Disekitar tempat Abu di tanam lama kelamaan tumbuhlah pohon berbulu yang sering disebut pohon pemedangan atau kayu putih kembar.Untuk menghargai jasa-jasa dari I Jero Getas maka wilayah kebun yang subur dan dengan banyak sumber airnya  oleh Raja Karangasem dijadikan hadiah sebagai  penghargaan kepada I Jero Getas dan saat kini kebun  tersebut dinamai desa Kebon Dungus artinya tanah kebun yang subur dan lebat yang menjadi tempat tinggal dan bermukimnya I Jero Getas yang berkembang sampai sekarang. Dalam perkembangan sejarah turunan Ijero Getas juga sering mendapat tugas-tugas dari raja Karangasem seperti pada saat Raja Karangasem ingin mengalahkan raja Sibetan yang dikenal dengan raja Sibetan Jit mategil, berkat bantuan Turunan I Jero Getas yang bernama Jero Krewed raja sibetan dapat dikalahkan dan juga saat raja karangasem berperang ke daerah Lombok mngalahkan raja-raja disana diantara yang dikirim ikut berperang adalah turunan I Jero Getas .Sekembali dari Lombok raja karangasem mengajak putri raja Lombok yang dijadikan istrinya bernama Jero Tumben. Sebagai kedekatan raja Karangasem dengan I jero Getas maka bersama Raja, I jero Getas mengembangkan Pura Puri Tengah dengan   membangun Pura Penataran Kebon Agung sebagai dasar bahwa Pura puri Tengah merupakan tempat ditanamnya abu Ulu raksasa penjelmaan Bhatara Wisnu yang artinya tempat peristirahatan sehingga di bangun Gedong kembar  dan untuk memuja kebesaran serta Ista Dewata sebagai manipestasi Tuhan yang Maha Kuasa maka Pura Penataran Kebon agung menjadi tempat sucinya. Bersamaan Pembangunan Pura Penataran Kebon Agung dibangun pula pelinggih Catur Loka pala atau Catur Muka sebagai tempat bersetananya Pancaka Tirta di Puri Tengah sedangkan di Pura penataran Kebon Agung di bangunlah Pelinggih Prasada atau candi tumpang Sembilan sebagai Stana Ida S. Widhi dengan candi tumpang Sembilan berarti angka terbesar dalam hitungan angka mengisyratkan bahwa Raja dan Turunan Dalem wayahan adalah posisi teratas didalam sosial kemasyarakatan di samping juga bahwa pelinggih Prasada dengan tumpang Sembilan bermakna Linggih Bhatara Ciwa Ludra dengan uripnya Sembilan disamping juga pelinggih Padmasana dan bale Pelik. Disaat Pura Penataran Kebon Agung di bangun Raja karangasem juga membangun Taman Peristirahatan di kebon yang nantinya ditempati oleh selir raja yang dari Lombok bernama Jero Tumben dan tempat tersebut sekarang dinamakan Telaga dengan ciri khasnya dan sampai saat kini masih ada berupa telaga besar di areal persawahan. Dalam beberapa tahun kemudian karena perkembangan dan beralihnya system pemerintahan dari kerajaan menjadi republic maka kekuasaan raja tidak lagi seperti dulu, Pujawali-pujawali sebelumnya raja karangasem sering turun untuk bersembahyan dipura penataran Kebon Agung namun beberapa tahun terakhir hal tersebut tidak  pernah  dilakukan lagi. Namun warih Dalem Wayahan Sira Arya Gajah Para dengan pratisentananya yang ada di Desa kebon Dungus tetap melaksanakan peaci-aci sampai saat kini dan mengupapira Pahryangan dengan sebaik-baiknya.
Oleh : JM. Pica.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar