Mitologi Pura Kebon
Agung.
Wawancara Tgl. 1 Maret 2012 .
Nara sumber : I Ketut Ngenteg, 70 Th.
Pada Tahun 1700 Masehi diceritakan di wilayah Desa Linggawana yang
merupakan Masyarakat Bali mula dan merupakan Desa Tradisional yang sampai saat
ini masih ajeg melestarikan tradisi-tradisi adat mengalami musibah dan di cekam rasa takut akan dimakan oleh mahluk angker
yang berwujud Raksasa. Raksasa ini sering memangsa binatang
binatang yang berkeliaran didalam hutan
perbukitan Desa Linggawana , seperti sapi, kidang,
kijang dan juga binatang - binatang lain
dan bahkan ternak peliharaan penduduk Desa Linggawana.
Raksasa ini tinggal disebuah Goa
di bawah Bukit yang sekarang dikenal dengan nama Goa Song Bowong, yang
kalau diartikan Song artinya lobang atau Goa dan Bowong artinya manusia besar yang kalau dimaksud manusia dengan bertubuh
besar adalah raksasa. Suatu saat karena banyaknya binatang yang menjadi tadahan makanan raksasa membuat
keberadaan binatang di hutan sekitar
goa semakin habis sehingga raksasa mulai mengincar
daging manusia, ini terbukti dengan dimangsanya penduduk Linggawana yang
kebetulan mencari rumput atau kayu bakar disekitar bukit atau hutan di wilayah
linggawana. Hilangnya beberapa penduduk Linggawana menjadikan masyarakat
Linggawana menjadi semakin resah dan merasa semakin tidak aman, sehingga
beberapa penghulu dan pemuka masyarakat yang saat itu di kenal dengan krama Roras sepakat untuk tangkil ke puri yang mana saat itu Linggawana
merupakan wewidangan Kerajaan Puri
Karangasem. Setelah
dihadapan raja disampaikan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
Linggawana oleh pemuka adat masyarakat linggawana. Akhirnya Raja Karang Asem berunding dengan
para patih kerajaan dan para
punggawa dengan mengambil sikap untuk memerintahkan patihnya datang ke Sraya
pada Buta Telu untuk bisa membantu masyarakat linggawana membunuh Raksasa yang
ada di Song Bowong. Segala upaya dilakukan oleh Buta Telu untuk membinasakan
Raksasa namun hasilnya sia-sia, raksasa tidak dapat dikalahkan. Dan hal ini
membuat semakin khawatir pemukha masyarakat linggawana akan keselamatan warga
masyarakatnya sehingga kembali lagi tangkil ke puri menyampaikan permasalahannya.
Raja I Gusti Ngurang Jelantik Karangasem yang dikenal
dengan Raja Dewata merundingkan permasalahan tersebut dengan para patih dan punggawa kerajaan
dan diambil kesepakatan untuk melanjutkan
dan menyampaikan
kepada Puri Klungkung,
karena Puri Klungkung merupakan Pusat Kerajaan untuk raja – raja di Bali yang pada saat itu berpusat di
Gelgel. Raja Klungkung menerima laporan dari utusan raja karangasem dan
memikirkan jalan keluar yang harus diambil dengan bermeditasi mohon petunjuk
kehadapan Ida S. Widhi. Sangat gembira hati raja setelah Ida Ngelesuang Yoga
semadi ( menyelesikan meditasinya ) didapat petunjuk bahwa Si raksasa yang ada di Gunung Song Bowong adalah
merupakan penjelmaan dari Bhatara Wisnu yang kena pastu. Dimana diceritakan
saat berkumpulnya para dewa dikahyangan untuk meminum tirtha amerta tiba-tiba
saja tirtha amertha tumpah dan mengenai istri Bhatara Ciwa yaitu Bhatari Uma
dan marahlah Bhatara Ciwa sehingga mengutuk Bhatara Wisnu agar Bhatara Wisnu dilahirkan
kebumi dan berwujud raksasa. Di ceritakan pula bersamaan dengan itu Dalem
Wayahan Manyeneng di kerajaan Dandang Gendis di daerah Jawa istri beliau mulai
ngidam dan semakin lama semakin tualah
umur kandungan istri Dalem Wayahan dan pada hari yang dinantikan lahirlah anak
dari dalem Wayahan . kelahiran bayi tersebut membuat terkejut seisi istana
karena kelahiran bayi yang dilahirkan berujud raksasa ,sehingga Dalem Wayahan
memerintahkan untuk membuang bayi tersebut ke seberang pulau, dibuatkan rakit
dan diantar oleh beberapa patih kerajaan menyeberangi lautan , dan ditengah
lautan pecahlah rakitnya, patih dan bayi raksasa terpisah, patih diceritakan
kembali kekerajaan Dangdang Gendis, bayi terapung dilautan terbawa gelombang
air laut dan bayi terdampar di Lobang Kaang di daerah Bunutan dekat Seraya dan
tempat tersebut kini dikenal dengan nama Soong kaang atau Congkaang . Karena
penjelmaan Dewa, bayi menjadi cepat
besar dan mampu berdiri dan berjalan menyusuri daerah perbukitan dan sampailah
di sebuah gua besar yang menjadi tempat tinggalnya yang dikenal dengan Goa Song
Bowong. Sehingga dalam pawisik dan meditasi, raja mendapatkan petunjuk bahwa turunan Dalem Wayahan lah yang nantinya mampu
membunuh raksasa yang tinggal Di Goa
Song bowong. Raja Klungkung memikirkan siapa sebenarnya turunan Dalem Wayahan
itu dan diketahuilah bahwa I Jero
Getas ( Warih Arya Gajah para ) merupakan turunan dari Dalem wayahan yang
sebelumnya menjadi Dalem Di kerajaan Dandang Gendis Di Jawa. Dengan sikap penuh
hormat I Jero getas menerima
sabda wecana dari raja dan tidak menolak apa yang menjadi titah raja. I Jero
getas berangkat dengan diiringi
200 orang ke Desa Linggawana yang saat itu wilayah Desa Bali Mula Linggawana yang sangat Luas dan banyak
kebun serta tanahnya subur karena sumber – sumber air yang melimpah dan
hutan yang belum di rombak menjadi menjadi tanah ladang atau pemukiman
seperti keadaan saat ini. Begitu Tiba di
Wilayah linggawana I Jero Getas diterima oleh Desa Roras dan masyarakat
Linggawana dengan penuh harap agar bisa mengalahkan Raksasa Yang ada di Song
Bowong dan tempat yang menjadi tempat tinggal I Jero Getas pertama kali di beri nama Getas yaitu yang
sekarang berada di Sebelah Utara Sungai Celincing di depan SDN 1 Culik. Segala taktik dan upaya dirundingkan untuk
bisa membunuh raksasa yang sudah banyak memangsa ternak dan bahkan manusia,
dengan pengikut 200 0rang pengabih I
Jero Getas membuat lah minyak dari kelapa yang nantinya
dijadikan sarana dalam menjalankan taktik upaya membunuh raksasa dan masyarakat
Linggawana disuruh untuk mempersiapkan kayu bakar sebanyak-banyaknya oleh I
Jero Getas. Dan pada waktu
yang telah ditentukan menjelang sore hari berangkatlah I Jero Getas
dengan di iringi pasukan pendampingnya
sambil membawa minyak dan juga lampu penerang di malam hari dan juga masyarakat Linggawana
dengan membawa kayu bakar dan juga ternak sapi yang nantinya akan di gunakan
sebagai umpan untuk dapat memancing keluar raksasa ke Bisbis yang sekarang disebut bukit Mabulu.
Sapi yang menjadi umpan di ikat di hutan dekat Gua , penuh kewaspadaan siasat
ini di laksanakan dan I Gero Getas naik ke bukit Yeh Mabulu sambil
membawa lentera dan minyak dan siap dengan senjata pedang. Pohon kayu besar
yang tumbuh diatas bukit di panjat dan setelah diatas batang pohon dilumuri minyak kelapa dan kayu
bakar di tumpuk diatas bukit dan menunggu perintah untuk dibakar , menjelang malam seperti biasanya raksasa keluar untuk mencari
makanan dan diciumnya ada makanan di luar gua , begitu keluar di endusnya dimana
kira-kira makanan itu berada dan di cari asal bau makanan tersebut dan
ditemukanlah ada sapi di tengah hutan dan raksasa ingin sekali segera
untuk memangsanya tiba-tiba saja dilihatnya ada nyala api di puncak bukit yang
membuat terkejut si Raksasa dan berpalinglah raksasa ke sumber nyala api di
atas bukit dimana yang menyalakan api adalah masyarakat linggawana yang sudah
mempersiapkan sebelumnya dan I jero Getas yang sudah menunggu dari sore hari
saat – saat seperti ini ,dilihatlah I Jero Getas oleh Si raksasa segera di
hampiri I Jero Getas untuk di tadah dijadikan makan apalagi karena sangat marah
si raksasa merasa di ganggu di malam hari dengan adanya nyala api yang besar
yang mana dikira bermaksud untuk membakar hutan yang ada di sekitar Gua tempat
tinggal Si raksasa, begitu Si raksasa sudah dekat naiklah I Jero Getas keatas
pohon dengan membawa lentera yang menyala sambil membawa minyak kelapa dan
senjata pedang yang telah dipersiapkan sedangkan masyarakat linggawana
menghindar sejauh mungkin, begitu diatas pohon dituangkanlah minyak kelapa pada
batang pohon seingga terlumuri minyak kelapa ranting dan batang pohon yang
dinaiki oleh I Jero Getas, begitu Si raksasa tiba langsung memanggil I Jero Getas
agar turun karena akan dimangsa , karena sangat marahnya maka Si Raksasa memanjat pohon besar tempat I Jero
Getas dengan susah payah Si raksasa memanjat pohon karena licin akibat lumuran
minyak kelapa begitu akan sampai diatas
dengan secepat kilat I Jero Getas memenggal kepala Si Raksasa dan terpisahlah
kepala dan tubuh si Raksasa, kepala Si Raksasa jatuh di sungai yang ada di
bawah bukit maka bersoraklah masyarakat
Linggawana menyaksikan kejadian yang meng
gembirakan karena akan terbebas dari ancaman si raksasa. Begitu di
dekati kepala Siraksasa terdengar sabdalah dari langit agar kepala si raksasa
dibakar dijadikan abu dan bersamaan itu pula turunan I Getas yang mendapat
petunjuk sabda bahwa selama tujuh turunan akan mendapatkan rejeki dari membuat
minyak kelapa begitu juga dengan masyarakat linggawana selama tujuh turunan
akan mendapatkan rejeki dari berjualan kayu bakar karena peran masyarakat
Linggawana yang menyediakan kayu bakar untuk bisa terbunuhnya si rakasasa dan
juga karena berdasarkan petunjuk sabda
sebelumnya bahwa Si raksasa adalah penjelmaan Bhatara Wisnu yang kena pastu .
Maka dibakarlah kepala siraksasa dijadikan abu dan sungai tempat menjadikan abu
kepala si raksasa dinamai Tukad Abu ulu sampai sekarang yang artinya Kepala di
bakar dijadikan abu. Abu Ulu lama –kelamaan karena proses pengucapan menjadilah
Tukad yeh abu ulu atau tukad yeh bulu. Dan juga karena petunjuk sabda atau
suara dari langit abu kepala siraksasa agar di bawa dan di tanam di atas sumber
mata air yang mana di tempat itu sekarang di namai Puri Tengah dan di buatlah
pelinggih yang sekarang berbentuk gedong kembar , karena abu kepala raksasa
adalah penjelmaan Bhatara Wisnu maka air adalah simbolis sekala Bhatara Wisnu
secara sekala di dalam mensejahtrakan umat manusia dan semua kehidupan lainnya
maka di bawah Puri Tengah dibangunlah Pelinggih Ulun Suwih yang menjadi pusat
keluarnya air untuk mengairi persawahan yang merupakan wilayah subak Kebon
Agung. Disekitar tempat Abu di tanam lama kelamaan tumbuhlah pohon berbulu yang
sering disebut pohon pemedangan atau kayu putih kembar.Untuk menghargai
jasa-jasa dari I Jero Getas maka wilayah kebun yang subur dan dengan banyak
sumber airnya oleh Raja Karangasem
dijadikan hadiah sebagai penghargaan kepada
I Jero Getas dan saat kini kebun
tersebut dinamai desa Kebon Dungus artinya tanah kebun yang subur dan
lebat yang menjadi tempat tinggal dan bermukimnya I Jero Getas yang berkembang
sampai sekarang. Dalam perkembangan sejarah turunan Ijero Getas juga sering mendapat
tugas-tugas dari raja Karangasem seperti pada saat Raja Karangasem ingin
mengalahkan raja Sibetan yang dikenal dengan raja Sibetan Jit mategil, berkat
bantuan Turunan I Jero Getas yang bernama Jero Krewed raja sibetan dapat
dikalahkan dan juga saat raja karangasem berperang ke daerah Lombok mngalahkan
raja-raja disana diantara yang dikirim ikut berperang adalah turunan I Jero
Getas .Sekembali dari Lombok raja karangasem mengajak putri raja Lombok yang
dijadikan istrinya bernama Jero Tumben. Sebagai kedekatan raja Karangasem
dengan I jero Getas maka bersama Raja, I jero Getas mengembangkan Pura Puri
Tengah dengan membangun Pura Penataran Kebon Agung sebagai
dasar bahwa Pura puri Tengah merupakan tempat ditanamnya abu Ulu raksasa
penjelmaan Bhatara Wisnu yang artinya tempat peristirahatan sehingga di bangun
Gedong kembar dan untuk memuja kebesaran
serta Ista Dewata sebagai manipestasi Tuhan yang Maha Kuasa maka Pura Penataran
Kebon agung menjadi tempat sucinya. Bersamaan Pembangunan Pura Penataran Kebon
Agung dibangun pula pelinggih Catur Loka pala atau Catur Muka sebagai tempat
bersetananya Pancaka Tirta di Puri Tengah sedangkan di Pura penataran Kebon
Agung di bangunlah Pelinggih Prasada atau candi tumpang Sembilan sebagai Stana
Ida S. Widhi dengan candi tumpang Sembilan berarti angka terbesar dalam
hitungan angka mengisyratkan bahwa Raja dan Turunan Dalem wayahan adalah posisi
teratas didalam sosial kemasyarakatan di samping juga bahwa pelinggih Prasada
dengan tumpang Sembilan bermakna Linggih Bhatara Ciwa Ludra dengan uripnya
Sembilan disamping juga pelinggih Padmasana dan bale Pelik. Disaat Pura
Penataran Kebon Agung di bangun Raja karangasem juga membangun Taman
Peristirahatan di kebon yang nantinya ditempati oleh selir raja yang dari
Lombok bernama Jero Tumben dan tempat tersebut sekarang dinamakan Telaga dengan
ciri khasnya dan sampai saat kini masih ada berupa telaga besar di areal
persawahan. Dalam beberapa tahun kemudian karena perkembangan dan beralihnya
system pemerintahan dari kerajaan menjadi republic maka kekuasaan raja tidak
lagi seperti dulu, Pujawali-pujawali sebelumnya raja karangasem sering turun
untuk bersembahyan dipura penataran Kebon Agung namun beberapa tahun terakhir
hal tersebut tidak pernah dilakukan lagi. Namun warih Dalem Wayahan
Sira Arya Gajah Para dengan pratisentananya yang ada di Desa kebon Dungus tetap
melaksanakan peaci-aci sampai saat kini dan mengupapira Pahryangan dengan
sebaik-baiknya.
Oleh : JM. Pica.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar