TUHAN
ADA DIMANA-MANA
BAB
I.
Pendahuluan.
1.1 Latar Belakang.
Seperti yang dikatakan oleh para
pelajar, mahasiswa, masyarakat beragama dalam doa mereka, bahwa selalu meyakini
diri bahwa Tuhan ada di dalam dan di luar.
Jika Tuhan hanya berada di dalam, maka kesucian batin diperlukan, itu
sudah cukup. Karena Tuhan juga berada di luar, maka, maka kesucian lahir juga
diperlukan. Dengan demikian, karena Tuhan berada di dalam dan di luar, kita
perlu memiliki kesucian lahir dan batin. Kemudian barulah kita dapat menghayati
kemaha-kuasaan Tuhan. Apakah yang
dimaksud dengan kesucian lahir ini ? Sudah tentu kesucian lahir ini, menyucikan
(membersihkan) badan dengan memakai pakaian yang bersih. Akan tetapi ada arti
yang lebih luas. Tempat tinggalkita harus bersih. Buku-buku yang kita baca
harus tetap bersih. Baik badan ataupun pikiran kita jangan dibiarkan menumpuk
kotoran dan sifat-sifat yang buruk. Bila kita mempunyai keyakinan
yang kuat, bahwa prinsip ketuhanan yang sama ada di setiap hati manusia, maka
segala hambatan akan bisa diatasi. Bila kita percaya sepenuhnya pada Tuhan yang
bersemayam dalam diri kita, maka segala sesuatu apa saja akan menjadi milik kita.
Keyakinan merupakan kunci dan dasar akar kehidupan spiritual. Jika kita memegang prinsip
ketuhanan itu, semuanya akan dapat kita selesaikan. Agar kita dapat menghayati
ketuhanan yang berada di mana-mana dalam kehidupan kita sehari-hari, kita harus
melaksanakan sadhana, mengembangkan rasa belas kasihan kepada semua makhluk.
Juga kita harus meningkatkan kesucian lahir dan batin, menjaga agar jasmani dan
rohani selalu bersih cemerlang. Hanya dengan demikianlah kita akan dapat
menyadari prinsip ketuhanan yang ada di mana-mana.
BAB. II
Pembahasan.
2.1 Pengertian
Tuhan
Berdasarkan kitab suci
weda Tuhan merupakan “Acintya” yaitu tak terpikirkan. Dan Tuhan itu hanya dapat
diwujudkan melalui simbul atau nyasa, wujud beliau dapat dihafalkan menurut
fantasi manusia. Rahasia keilahiannya terembunyi dalam kabut rahasia
pengetahuan manusia, sifat-sifat kerahasiaan itu dipikirkan kedalam bentuk
nyasa dengan cara-cara simbolik yang disebut maya sakti. Nyasa yang banyak
dipakai dalam ajaran agama Hindu adalah simbul dengan garis-garis tertentu yang
disebut yantra (cakra) perpaduan warna, kembang dan warna-warna tertentu secara
arca yang wujud bentuknya kadang-kadang fantasi seperti yang kita lihat.
Dengan
semakin berkembangnya peradaban dan kemampuan berpikir manusia, ajaran agama
Hindu mengalami pula perkembangan dalam penghayatan dan pelaksanaannya. Dari
politeisme dan henoteisme, ajaran agama Hindu berkembang menuju monotesme dan
monisme, pandangan yang mengakui dengan tegas hanya ada satu Tuhan yaitu Brahman sebagai yang mutlak “Ekam Eva Adwityam Brahman yang artinya hanya satu Tuhan tiada yang kedua
demikian ucapan weda. Pandangan monisme seperti ini tidaklah dipertentangkan
dengan pandangan sebelumnya karena dalam weda sudah disebutkan Tuhan Yang Maha
Esa itu disebut pula dengan berbagai nama, Dia-lah pencipta (Brahma), Dia pula penopang dan
pemelihara alam semesta beserta isinya (wisnu),
dan pada saatnya melebur segala ciptaannya menuju asalnya (siwa).
Dalam
Rg. Veda, kitab weda tertua
disebutkan Tuhan telah menciptakan alam semesta beserta isinya dan Ia pula yang
menciptakan dewa-dewa untuk mengendalikannya. Sebagai ajaran yang terbuka, weda
bagaikan tanah subur bagi persemian berbagai aliran dan pandangan filsafat.
Lambang-lambang dan gagasan dalam weda diberi pengertian dan makna baru tanpa
menggoncangkan kepercayaan lama.
2.2 Tuhan ada dimana-mana.
Kitab suci Weda dan kitab-kitab sastranya
mengajarkan bahwa Tuhan itu esa, mahakuasa dan ada di mana-mana. Manusia yang
serba terbatas ini tidak akan mampu memahami keesaan dan kemahakuasaan Tuhan
itu atau disebut dalam kitab sastra. Bhuwanakosa menyatakan: Bhatara Siwa
sira vyapaka, sira suksma tan kneng angen-angen kadyangganing akasa sira tan
kagrahita dening manah muang indriya.
Tuhan ada di mana-mana, amat gaib, amat sukar membayangkan, bagaikan
akasa. Tidak terjangkau oleh kecerdasan pikiran dan ketajaman indria.
Demikian keberadaan Tuhan menurut kitab suci dan susastra Hindu. Meskipun
manusia tidak memiliki kemampuan untuk memahami. Dalam kitab Wrehaspati
Tattwa dinyatakan Tuhan secara pasti, tepat dan benar. Namun manusia menurut
ajaran Hindu wajib meyakini bahwa Tuhan itu maha-ada (Wibhusakti), mahakuasa
(Prabhusakti), mahatahu (Jnyana Sakti) dan mahakerja (Kriya Sakti). Selanjutnya
bagaimana manusia mendayagunakan keyakinannya pada Tuhan yang ada di
mana-mana itu untuk menyelenggarakan hidupnya agar bisa mewujudkan hidup yang
bahagia lahir batin di dunia sekala ini sebagai landasan untuk menuju dunia
niskala. Menurut keyakinan Hindu dunia niskala itu disebut Para Loka. Di Para
Loka itu ada dua bagian yang disebut sorga dan ada yang disebut neraka. Setiap
orang idealnya mengharapkan setelah hidup di dunia sekala ini menuju dunia
niskala yang disebut sorga itu. Untuk mencapai dunia yang disebut sorga itu
harus berprilaku yang senantiasa disertai bahwa Tuhan selalu sebagai
menyaksikan perilakunya. Dalam berniat, berpikir dan berkehendak saja Tuhan
hendaknya diyakini mengetahuinya. Apalagi berbicara dan bertindak nyata Tuhan
pasti mengetahuinya. Kalau keyakinan pada Tuhan yang selalu maha mengetahui
ini kuat pada diri seseorang maka saya sangat yakin orang tersebut tidak akan
melanggar ajaran agama yang diyakini sabda Tuhan. Inilah yang disebut
sebagai keyakinan aktif pada Tuhan. Kalau keyakinannya itu pasif, hanya
percaya pada Tuhan sekadar percaya. Kepercayaan kepada Tuhan tidak disertai
dengan kesadaran untuk mendayagunakan keyakinannya itu untuk membenahi
berbagai langkah kehidupannya, maka kepercayaan pada Tuhan itu sia-sia
saja.Penerapan kehidupan beragama Hindu dalam berbagai aspeknya pada intinya
untuk senantiasa menanamkan keyakinan pada Tuhan agar benar-benar menjadi
bagian yang integral dalam diri pribadi setiap umat. Kalau keyakinan pada
Tuhan Yang Esa dan Mahakuasa itu ada di mana-mana sudah demikian menjiwai
hidup seseorang maka akan mengejawantah menjadi perilaku yang subha karma.
Dalam tradisi kehidupan beragama Hindu di Bali keberadaan Tuhan di
mana-mana itu telah divisualisaksikan dalam berbagai bentuk kegiatan
keagamaan yang sakral. Seperti keberadaan Meru Tumpang Sebelas dan Tumpang
Tiga di mandala kelima Pura Penataran Agung Besakih itu. Mpu Kuturan telah
menjadikan Pulau Bali ini sebagai simbol Buwana Agung stana sakral Tuhan Yang
Maha Esa yang disebut sebagai Padma Bhuwana. Tuhan yang berada di mana-mana
itu divisualisasikan menjadi sembilan Kahyangan Jagat. Sembilan
Khayangan Jagat ini simbol bahwa tidak ada bagian alam ini tanpa kehadiran
Tuhan. Tujuannya agar umat Hindu di Bali dapat menghayati konsep Wyapi
Wyapaka Nirwikara dengan metode visual. Sayang keberadaan tempat pemujaan
Tuhan di sembilan penjuru Pulau Bali ini dipahami dengan sikap pasif saja.
Bahkan, sepertinya banyak yang memahami bahwa Tuhan hanya ada di
tempat-tempat pemujaan itu saja. Di luar tempat pemujaan itu seolah-olah
Tuhan tidak hadir. Karena dianggap Tuhan hanya berstana di pura saja maka di
luar pura kalau mereka berbuat apa saja Tuhan tidak mengetahuinya. Apa lagi
di ruang kerja di kantor keberadaan Tuhan dianggap pasif saja. Kalaupun
mereka melakukan sesuatu yang melanggar dharma seperti merekayasa uang rakyat
untuk dikorupsi, diyakini Tuhan tidak akan mengetahuinya. Tentunya akan
berbeda bagi mereka yang demikian aktif meyakini bahwa Tuhan berada di
mana-mana dan maha mengetahui segala perilaku manusia. Kayakinan yang
demikian itu akan dapat berfungsi untuk mengontrol dirinya secara sadar untuk
tidak berbuat melanggar ajaran agama sabda Tuhan itu. Mereka menaati ajaran
agama itu bukan karena takut semata, tetapi karena setiap perbuatan yang baik
pasti akan berpahala baik, demikian juga sebaliknya. Di samping tempat
pemujaan sebagai sarana sakral beragama Hindu melukiskan kehadiran Tuhan
berada di mana-mana juga banyak media beragama lainnya sebagai media sakral
untuk memotivasi umat Hindu agar secara aktif mengembangkan keyakinannya.
Seperti sarana beragama yang
disebut banten. Dalam Lontar Yadnya Prakerti ada dinyatakan bahwa banten itu
pinaka warna rupaning Ida Batara. Artinya, banten itu sebagai simbol berbagai
bentuk kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Pelindung. Banten Canang, misalnya.
Dalam Banten Canang itu disimbolkan tiga kemahakuasaan Tuhan yaitu Tuhan
sebagai pencipta, sebagai pelindung dan sebagai pemralina yang disebut
sebagai Brahma, Wisnu dan Iswara.
Ada Banten Kwangen simbol Omkara
sebagai panggilan sakral yang tertua pada Tuhan Yang Esa itu. Tuhan juga
disimbolkan dalam Banten Catur. Dalam Banten Catur ini Tuhan disimbolkan
memiliki Cadu Sakti seperti Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnyana Sakti dan Kriya
Sakti.
Demikian juga dalam Banten Dewa
Dewi Tuhan disimbolkan sebagai pencipta Purusa dan Pradana. Banten Daksina
yang disebut Yadnya Patni itu juga lambang alam semesta stana terhormat Hyang
Widhi Wasa.
Hari raya keagamaan pun sebagai
media untuk mengingatkan umat Hindu agar senantiasa ingat dan sadar pada
keberadaan Tuhan secara aktif. Seperti saat Tumpek Wariga sebagai pemujaan
Sang Hyang Sengkara dewanya tumbuh-tumbuhan. Tumpek Landep sebagai pemujaan
Sang Hyang Pasupati, hari raya Pager Wesi sebagai pemujaan Sang Hyang
Paramesti Guru. Tumpek Kandang sebagai pemujaan Hyang Rareangon.
Demikian banyak lagi media
kegiatan keagamaan Hindu sebagai hari untuk mengingatkan umat agar meyakini
bahwa Tuhan itu Mahaesa, Mahakuasa dan berada di mana-mana untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Harapannya bahwa
umat Hindu akan dapat lebih mening katkan kepercayaannya terhadap Tuhan Yang
Máha Esa yang melingkupi seisi alam semesta di jagad raya ini.
Dalam
pustaka suci Bhagawad gita, pada bab IX (nawama adhya) sloka empat (caturma
sloka) tentang rajawidya (rajanya ilmu pengetahuan atau ilmu mistik), rajaguhya
yoga (ilmu yang paling rahasia dan yang rahasia), yang telah dikutip atas
yang pada intinya ada diajarkan tentang ketuhanan dalam agama Hindu. Bilamana
disimak makna sloka suci di atas, maka dapat dipahami bagaimana ajaran
ketuhanan dalam agama Hindu? Setidaknya, bahwa Tuhan Yang Maha Esa atau Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dinyatakan dalam pustaka suci bhagawadgita sebagaimana
disitir di atas adalah memiliki wujud yang disebut dengan Awyakta.
Banyak
gelar atau sebutan yang diberikan untuk rnenyebut nama Tuhan Yang Maha Esa.
Banyak pula kekuatan Tuhan ataupun kemahakuasaan-Nya. Tuhan juga memiliki
banyak bentuk atau banyak wujud (bahu murti). Begitu pula dalam kaitannya
dengan kebera daan-Nya, bahwa Tuhan ada dimana mana (wyapi wyapaka). Tuhan memiliki beragam sifat atau karakter
(Saguna Brahman). Tuhan pula sesungguhnya tidak dapat dipikirkan (acintya).
Masih banyak lagi karakter Tuhan itu sendiri.
Tatkala
Tuhan tidak bisa menam-pakkan diri-Nya, maka Beliau digelari sebagai Tuhan
yang bersifat Awyakta. Dengan kata lain bahwa Tuhan juga memiliki sifat yang
abstrak (maya). Memang Tuhan sesungguhnya adalah tidak dapat memperlihatkan
diri. Beliau sering juga digelari sebagai Sang Hyang Niskala, oleh karena
Beliau tidak dapat mewujudkan diri-Nya dalam bentuk yang sebenarnya dan
senyatanya. Begitulah keagungan dan kebesaran dan Tuhan Yang Maha Esa di alam
raya ini dengan segala isinya.
Tuhan
Yang Maha Esa memiliki kekuatan (sakti) untuk menciptakan segala yang ada dan
yang tidak ada ini (wahya adhyatmika). Apapun yang menjadi bagian atau isi
alam raya ini maka Beliaulah asalnya (Sangkan Paraning Dumadi). Beliau juga
yang menciptakan (ngutpeti) segala yang wujudnya besar ataupun yang tidak
bisa dilihat oleh indra penglihat manusia. Tuhan dapat melakukan perlindungan
(raksatam) serta memelihara (stithi) ciptaan Beliau. Namun demikian, bahwa
Tuhan Yang Maha Esa juga memiliki kemampuan yang maha dasyat dan hebat bagi
segalanya, yakni dapat menarik, mengembalikan, melebur, menghanguskan, dan
mengembalikan melalui kematian (mrtyu), oleh karena Beliau memiliki kekuatan
sebagai rajanya maut yang dinamai pralina. Bilamana Tuhan telah menghendaki
dan memberikan titah atau sabda untuk menuju pada kelenyapan, maka hal itu
tidak bisa ditolak dan tidak bisa dimohon. Begitulah kekuatan maut Beliau
(pralaya) yang secara pasti lambat laun akan dialami oleh semua ciptaan
(janman) di alam semesta ini.
Sesuai
makna sloka suci di atas bahwa Tuhan Yang Maha Esa memiliki wujud yang tidak
nyata atau Beliau tidak bisa memperlihatkan diri-Nya (awyakta). Lantas
bagaimana umat manusia pada umumnya dan umat Hindu dapat mendekatkan din
dengan Tuhan Yang Maha Esa? Apakah yang bisa dilakukan untuk menuju-Nya? Cara
apa yang bisa ditempuh, mengingat keberadaan Beliau tidak lianya atau tidak
memiliki wujud? Begitu banyak pertanyaan yang akan muncul dan memerlukan
banyak jabawan pula.
|
|||||
|
|||||
Penutup.
3.1 Kesimpulan.
Dalam hal ini, bahwa jawaban
kuncinya adalah karena Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya telah hadir dimana-mana yang memenuhi seisi alam ini. Tuhan Yang
Maha Esa tidak perlu dikejar-kejar kesana-kemari. Tidak perlu yang jauh dan
tidak perlu yang membingung-kan untuk mencari cara dalam menuju Beliau. Semua
dan bagian alam raya dan isinya tiada lain adalah Beliau juga. Bila Beliau
dikatakan tidak nyata ya benar adanya, namun Beliau bisa ditemukan. Bila semua
insan manusia di alam raya ini telah memiliki keyakinan yang utama (maha
sraddha), maka semua jalan pasti dapat dilalui menuju-Nya. Tidak ada istilah
tiada jalan untuk bisa menemukan Beliau. Dalam ketidakber-wujudan Beliau
(awyakta), tentu ada jalan (marga) untuk sampai kepada-Nya.
Sebagai
umat manusia yang selalu berbakti kepada-Nya, maka ada berbagai cara yang bisa
dilakukan. Cara perseorangan tentu bisa. Cara bersama sama juga dapat
dilakukan. Cara hening dan sepi boleh juga dilakukan. Cara dengan melagukan
nyanyian suci (dharma gita) atau cara yang sejenis juga merupakan cara yang
tidak keliru, asalkan berlandaskan atas kebenaran yang sujati (dharma). Cara
pengendalian (tapa), cara berpantang (brata), cara kontak spiritual (yoga),
cara penyatuan yang tulus (samadhi), cara persembahan dengan memakai sarana
banten atau sesajen (upakara yajna), cara kerja yang tekun (karmani), cara
belajar yang ulet (adhydyanam), cara dermawan (dhana punya), cara perjalanan
suci (tirtha yatra), cara bakti sosial (sarwa sukarma), cara kasih sayang
(paramita), cara persahabatan yang positif (bahu sakha), cara pendidikan (rasta
siksa ca ashram), cara berdialog (dharma tula), cara melakukan interaktif
kemuliaan (dharma witarka), dan masih banyak lagi cara lain untuk menuju Tuhan
Yang Maha Esa, walaupun keberadaan Beliau bersifat tidak nyata.
Dalam
realitas bagi umat Hindu di Indonesia, bahwa cara yang telah dilakukan meliputi
berbagai cara seperti yang telah dipaparkan di atas. Tentu ada pertanyaan
muncul, mana diantara semua cara tersebut yang terbaik? Sederhana saja jawabannya.
Tergantung kembali kepada umat itu sendiri. Mana cara yang terbaik adalah cara
yang telah lazim dilakukannya setiap hari (prati dinam ya puja dewata-dewati)
untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa. Atau dengan cara merafalkan berbagai mantra
secara rutin (surya sevana) yang digolongkan sebagai nitya karma. Itu kembali
kepada kondisi masing-masing umat yang melakukannya yang sudah tentu dapat
menyesuaikan dengan keadaan masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar