Jumat, 20 Maret 2015

Keindahan Kesedihan



Keindahan Kesedihan
Nyaris semua orang lari dari kesedihan. Sebagian bahkan lari ke tempat-tempat berbahaya seperti alkohol dan obat terlarang. Sebabnya cuman satu, manusia kebanyakan menganggap kesedihan sebagai kesalahan dan hukuman. Padahal di kedalaman yang dalam terlihat, kesedihan serupa seorang ibu yang membimbing (nurturing mother) jiwa agar pulang.
Kesedihan Bukan Hukuman
Salah satu orang yang menyelam dalam sekaligus indah di danau kesedihan adalah Kahlil Gibran. Bila manusia biasa lari menjauh atau mengalami luka jiwa tatkala cintanya ditolak, penulis buku Sang Nabi ini menyelami selapis demi selapis indahnya danau kesedihan. Ia sapa setiap tetesan air mata. Ia dekap setiap rasa sakit. Ia perciki setiap luka jiwa. Hasilnya sangat mengagumkan, sebuah buku suci indah yang dikagumi dunia.
Sehingga mudah dimaklumi jika semua nabi dan orang suci melewati tangga-tangga kesedihan yang lama, dalam, panjang. Demikian dalamnya kesedihan, sebagian bahkan ada yang kehilangan nyawa. Dan sebagaimana diketahui banyak orang, di balik kesedihan mendalam ini kemudian terbit cahaya yang indah sekali. Di zaman kita, Marthin Luther King Jr., Nelson Mandela, Bunda Teresa, HH Dalai Lama, Thich Nhat Hanh, Mahatma Gandhi adalah sebagian Guru yang bercahaya di jalan ini.
Ringkasnya, kesedihan bukan hukuman. Kesedihan bukan racun perjalanan. Kesedihan tidak diniatkan untuk melukai jiwa. Kesedihan serupa kepompomg yang keluar dari rumahnya. Sakit, sedih memang, tapi begitu keluar ia menjadi kupu-kupu indah yang terbang ke sana ke mari menghiasi dunia.
Kesedihan Sebagai Air Suci
Di sebuah kolam keheningan yang tenang sempurna, pernah terdengar pesan seperti ini: “kadang-kadang tidak mendapatkan apa yang Anda inginkan bisa menjadi berkah indah kehidupan”. Terdengar sangat melawan arus memang, tapi memang demikianlah adanya. Bila keinginan terpenuhi terus, ia akan memperbesar ego dan keakuan. Dan di puncak ego dan keakuan hanya ada penderitaan mendalam.
Oleh karena itulah, tidak terpenuhinya keinginan bisa menjadi berkah di waktu kemudian, yakni terhindarnya seseorang dari penderitaan mendalam. Lebih dari sekadar berkah, kesedihan bisa berubah wajah menjadi air suci yang membersihkan sekaligus memurnikan. Dalam bahasa seorang Guru, air mata kesedihan membasuh bersih luka jiwa, kemudian dari jiwa yang bersih lahir bayi belas kasih.
Bayi belas kasih seperti inilah yang pernah lahir dari rahim kesedihan yang pernah dilalui oleh Yesus Kristus dan Mahatma Gandhi. Dan sebagaimana akan dicatat sejarah, bayi ini masih bercahaya ribuan tahun ke depan, menerangi banyak sekali kegelapan jiwa.
Kesedihan Membimbing Pulang
Dan bila boleh jujur, bayi belas kasih terakhir ini tidak lahir dari rahim kebahagiaan yang dicari kebanyakan orang, tapi ia lahir dari rahim kesedihan yang sangat ditakuti kebanyakan orang. Dan siapa saja yang tekun dan tulus di depan kesedihan, bukannya lari, maka persoalan waktu ia juga dibimbing pulang.
Seorang sahabat yang sudah lama pulang dibimbing kesedihan pernah menemukan pesan indah seperti ini: “menyadari sebuah kesalahan pada diri sendiri lebih bermakna dibandingkan melihat ribuan kekeliruan pada orang lain”. Inilah jiwa indah yang sudah pulang. Kesedihan membimbing seseorang membuka dirinya selapis demi selapis.
Dan di puncak penemuan akan diri terlihat cahaya indah, ternyata tatkala diri ini berubah dunia juga berubah. Tatkala di dalam semuanya dalam tatanan, maka dunia juga dalam tatanan. Bagi jiwa-jiwa yang sudah pulang dengan cara seperti ini akan mengalami transformasi besar dari ketakutan menuju cinta kasih. Di titik ini terlihat terang, kehidupan serupa bulan purnama. Bagian yang terang itu disebut cinta, bagian gelap di baliknya disebut ketakutan. Tolong dicatat, keduanya adalah bulan yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar