Keindahan Kesedihan
Nyaris semua
orang lari dari kesedihan. Sebagian bahkan lari ke tempat-tempat berbahaya
seperti alkohol dan obat terlarang. Sebabnya cuman satu, manusia kebanyakan
menganggap kesedihan sebagai kesalahan dan hukuman. Padahal di kedalaman yang
dalam terlihat, kesedihan serupa seorang ibu yang membimbing (nurturing mother)
jiwa agar pulang.
Kesedihan
Bukan Hukuman
Salah satu
orang yang menyelam dalam sekaligus indah di danau kesedihan adalah Kahlil
Gibran. Bila manusia biasa lari menjauh atau mengalami luka jiwa tatkala
cintanya ditolak, penulis buku Sang Nabi ini menyelami selapis demi selapis
indahnya danau kesedihan. Ia sapa setiap tetesan air mata. Ia dekap setiap rasa
sakit. Ia perciki setiap luka jiwa. Hasilnya sangat mengagumkan, sebuah buku
suci indah yang dikagumi dunia.
Sehingga
mudah dimaklumi jika semua nabi dan orang suci melewati tangga-tangga kesedihan
yang lama, dalam, panjang. Demikian dalamnya kesedihan, sebagian bahkan ada
yang kehilangan nyawa. Dan sebagaimana diketahui banyak orang, di balik
kesedihan mendalam ini kemudian terbit cahaya yang indah sekali. Di zaman kita,
Marthin Luther King Jr., Nelson Mandela, Bunda Teresa, HH Dalai Lama, Thich
Nhat Hanh, Mahatma Gandhi adalah sebagian Guru yang bercahaya di jalan ini.
Ringkasnya,
kesedihan bukan hukuman. Kesedihan bukan racun perjalanan. Kesedihan tidak
diniatkan untuk melukai jiwa. Kesedihan serupa kepompomg yang keluar dari
rumahnya. Sakit, sedih memang, tapi begitu keluar ia menjadi kupu-kupu indah
yang terbang ke sana ke mari menghiasi dunia.
Kesedihan
Sebagai Air Suci
Di sebuah
kolam keheningan yang tenang sempurna, pernah terdengar pesan seperti ini:
“kadang-kadang tidak mendapatkan apa yang Anda inginkan bisa menjadi berkah
indah kehidupan”. Terdengar sangat melawan arus memang, tapi memang demikianlah
adanya. Bila keinginan terpenuhi terus, ia akan memperbesar ego dan keakuan.
Dan di puncak ego dan keakuan hanya ada penderitaan mendalam.
Oleh karena
itulah, tidak terpenuhinya keinginan bisa menjadi berkah di waktu kemudian,
yakni terhindarnya seseorang dari penderitaan mendalam. Lebih dari sekadar
berkah, kesedihan bisa berubah wajah menjadi air suci yang membersihkan
sekaligus memurnikan. Dalam bahasa seorang Guru, air mata kesedihan membasuh
bersih luka jiwa, kemudian dari jiwa yang bersih lahir bayi belas kasih.
Bayi belas
kasih seperti inilah yang pernah lahir dari rahim kesedihan yang pernah dilalui
oleh Yesus Kristus dan Mahatma Gandhi. Dan sebagaimana akan dicatat sejarah,
bayi ini masih bercahaya ribuan tahun ke depan, menerangi banyak sekali
kegelapan jiwa.
Kesedihan
Membimbing Pulang
Dan bila
boleh jujur, bayi belas kasih terakhir ini tidak lahir dari rahim kebahagiaan
yang dicari kebanyakan orang, tapi ia lahir dari rahim kesedihan yang sangat
ditakuti kebanyakan orang. Dan siapa saja yang tekun dan tulus di depan
kesedihan, bukannya lari, maka persoalan waktu ia juga dibimbing pulang.
Seorang
sahabat yang sudah lama pulang dibimbing kesedihan pernah menemukan pesan indah
seperti ini: “menyadari sebuah kesalahan pada diri sendiri lebih bermakna
dibandingkan melihat ribuan kekeliruan pada orang lain”. Inilah jiwa indah yang
sudah pulang. Kesedihan membimbing seseorang membuka dirinya selapis demi
selapis.
Dan di
puncak penemuan akan diri terlihat cahaya indah, ternyata tatkala diri ini
berubah dunia juga berubah. Tatkala di dalam semuanya dalam tatanan, maka dunia
juga dalam tatanan. Bagi jiwa-jiwa yang sudah pulang dengan cara seperti ini
akan mengalami transformasi besar dari ketakutan menuju cinta kasih. Di titik
ini terlihat terang, kehidupan serupa bulan purnama. Bagian yang terang itu
disebut cinta, bagian gelap di baliknya disebut ketakutan. Tolong dicatat,
keduanya adalah bulan yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar